Adab-adab ketika Menuntut Ilmu Agama
· Harus mengetahui tentang keutamaan dan pentingnya ilmu syara’.
· Berdo’a kepada Allah agar diberikan taufiq dalam menuntut ilmu.
· Bersemangat untuk bersafari dalam menuntut ilmu.[1]
· Menghadiri halaqah-halaqah ilmu semampunya.
· Jika seseorang terlambat dalam menghadiri majlis ilmu, maka lebih baik baginya untuk tidak mengucapkan salam jika hal tersebut bisa mengganggu perjalanan majlis tersebut. Namun jika tidak memberikan pengaruh apapun maka mengucapkan salam adalah sunnah.[2]
Baca juga : Adab-adab ketika Berbicara dengan Orang Lain
· Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimhullah bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya: “Aku ingin menuntut ilmu tapi ibuku mencegahku untuk mewujudkan keinginanku, dia ingin agar aku menyibukkan diri dengan berdagang. Beliau menjawab: “Hendaklah dia tetap tinggal di rumahnya, dan di kampung halamannya, serta janganlah kamu meninggalkan menuntut ilmu”.[3]
· Tidak beramal dengan ilmu adalah sebab hilangnya barakah ilmu tersebut, Allah I telah mengecam mereka yang berkelakuan seperti ini dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[4] Dari Imam Ahmad diceritakan bahwa beliau berkata: Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi kecuali aku telah mengamalkannya, sampai aku mengetahui sebuah hadits di mana Nabi berbekam dan mengupah Abi Thaibah satu dinar maka aku memberikan orang yang membekamiku satu dinar saat aku berbekam padanya.[5]
· Merasa rugi dengan kehilangan para ulama yang semasa dengan dirinya,[6] mentauladani adab dan akhlaq mereka, Al-Khallal meriwayatkan tentang akhlaq Imam Ahmad dari Ibrahim, menceritakan: Mereka jika mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu darinya maka mereka terlebih dahulu melihat pada shalatnya, sifat dan penampilannya barulah kemudian mereka menimba ilmu darinya. Dari A’masy, ia berkata: Mereka (generasi salaf) belajar dari orang yang faqih segala sesuatu bahkan cara memakai pakian dan sandal”[7].
· Beradab dan berbudi dalam menuntut ilmu.
· Hadiri secara terus menerus dalam majlis ilmu dan tidak malas.
· Tidak putus asa dan merendahkan diri, hendaklah dia mengingat firman Allah:
"Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun”.[8] Terlebih jika ia merasakan kesulitan terhadap apa-apa yang dipelajarinya.
· Membaca buku-buku yang memotifasi untuk menuntut ilmu, mengetahui metode yang benar dalam menimbanya serta mengetahui kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada dirinya.
· Menjaga agar selalu bergegas menghadiri majlis ilmu dan memanfaatkan waktu.
· Mengejar pelajaran yang tertinggal.
· Menulis catatan penting pada sampul luar buku atau kertas lainnya.
· Memperhatikan agar selalu membaca ulang catatan penting tersebut.
· Saat membeli buku sebaiknya seseorang membuka halamannya secara umum.
· Tidak melempar buku di atas tanah, seseorang telah melakukannya di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, akhirnya beliau marah dan berkata: Seperti inikah prilaku kita terhadap ucapan para para ulama yang mulia”.[9]
· Tidak memotong pebicaraan seorang guru sampai dia selesai menerangkan masalahnya, Imam Bukhari berkata: “Bab Man Su’ila Ilman Wa Huwa Musytagilun Fi Haditsihi Fa Atammal Hadits” (Bab tentang orang yang ditanya masalah ilmu, sementara dia sibuk dalam menjelaskan sesuatu maka hendaklah dia menyempurnakan penjelasannya) kemudian beliau menyebutkan hadits bahwa seorang badui berkata kepada Nabi saat beliau berkhutbah: Kapankah hari kiamat terjadi?, namun Rasulullah tetap melanjutkan khutbahnya sampai orang badui tersebut berpaling darinya, sehingga saat beliau menyempurnakan khutbahnya, beliau bertanya:”Di manakah orang yang bertanya tentang hari kiamat?”[10].
· Ibnul Jauzi berkata: Dan pada saat seorang penuntut ilmu tidak memahami suatu pelajaran, hendaklah dia bersabar sampai gurunya tersebut berhenti berbicara, lalu barulah bertanya kepada syekh dengan beradab dan cara yang lembut serta tidak memotong penjelasan gurunya saat berbicara.[11]
· Beradab dalam mengajukan pertanyaan kepada guru, maka hendaklah seseorang tidak bertanya dengan pertanyaan yang sengaja dibuat-buat dan dipaksakan, atau mengajukan pertanyaan yang telah diketahui jawabannya dengan tujuan menyingkap kelemahan guru atau untuk menampakkan kemampuan diri yang telah mengetahui masalah tersebut, atau bertanya dengan suatu pertanyaan yang tidak terjadi. Para ulama salaf mencela perbuatan seperti ini yaitu jika seseorang mengajukan pertanyaan yang dipaksakan.[12]
· Seorang penuntut ilmu harus menjalankan hak ilmu di masjid.[13]
· Seorang penuntut ilmu menjalankan hak ilmu di rumah. Imam Bukhari rahimhullah berkata: (Bab Ta’limur Rajul Amatahu Wa Ahlahu) lalu beliau menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asya’ari radhiallahu anhu berkata: Rasulullah bersabda:
“Tiga golongan akan mendapat dua pahala: Seorang lelaki dari ahli kitab yang beriman dengan Nabinya dan beriman dengan Nabi Muhammad, seorang hamba sahaya yang telah menunaikan hak Allah terhadap dirinya dan hak pemiliknya, dan lelaki yang mempunyai seorang budak perempuan lalu dia mengajarkannya akhlak dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya dan dinikahinya maka dia mendapat dua pahala”.[14]
· Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimhullah bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya: “Aku ingin menuntut ilmu tapi ibuku mencegahku untuk mewujudkan keinginanku, dia ingin agar aku menyibukkan diri dengan berdagang. Beliau menjawab: “Hendaklah dia tetap tinggal di rumahnya, dan di kampung halamannya, serta janganlah kamu meninggalkan menuntut ilmu”.[3]
· Tidak beramal dengan ilmu adalah sebab hilangnya barakah ilmu tersebut, Allah I telah mengecam mereka yang berkelakuan seperti ini dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لاَ تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَالاَ تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[4] Dari Imam Ahmad diceritakan bahwa beliau berkata: Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi kecuali aku telah mengamalkannya, sampai aku mengetahui sebuah hadits di mana Nabi berbekam dan mengupah Abi Thaibah satu dinar maka aku memberikan orang yang membekamiku satu dinar saat aku berbekam padanya.[5]
· Merasa rugi dengan kehilangan para ulama yang semasa dengan dirinya,[6] mentauladani adab dan akhlaq mereka, Al-Khallal meriwayatkan tentang akhlaq Imam Ahmad dari Ibrahim, menceritakan: Mereka jika mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu darinya maka mereka terlebih dahulu melihat pada shalatnya, sifat dan penampilannya barulah kemudian mereka menimba ilmu darinya. Dari A’masy, ia berkata: Mereka (generasi salaf) belajar dari orang yang faqih segala sesuatu bahkan cara memakai pakian dan sandal”[7].
· Beradab dan berbudi dalam menuntut ilmu.
· Hadiri secara terus menerus dalam majlis ilmu dan tidak malas.
· Tidak putus asa dan merendahkan diri, hendaklah dia mengingat firman Allah:
وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا
"Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun”.[8] Terlebih jika ia merasakan kesulitan terhadap apa-apa yang dipelajarinya.
· Membaca buku-buku yang memotifasi untuk menuntut ilmu, mengetahui metode yang benar dalam menimbanya serta mengetahui kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada dirinya.
· Menjaga agar selalu bergegas menghadiri majlis ilmu dan memanfaatkan waktu.
· Mengejar pelajaran yang tertinggal.
· Menulis catatan penting pada sampul luar buku atau kertas lainnya.
· Memperhatikan agar selalu membaca ulang catatan penting tersebut.
· Saat membeli buku sebaiknya seseorang membuka halamannya secara umum.
· Tidak melempar buku di atas tanah, seseorang telah melakukannya di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, akhirnya beliau marah dan berkata: Seperti inikah prilaku kita terhadap ucapan para para ulama yang mulia”.[9]
· Tidak memotong pebicaraan seorang guru sampai dia selesai menerangkan masalahnya, Imam Bukhari berkata: “Bab Man Su’ila Ilman Wa Huwa Musytagilun Fi Haditsihi Fa Atammal Hadits” (Bab tentang orang yang ditanya masalah ilmu, sementara dia sibuk dalam menjelaskan sesuatu maka hendaklah dia menyempurnakan penjelasannya) kemudian beliau menyebutkan hadits bahwa seorang badui berkata kepada Nabi saat beliau berkhutbah: Kapankah hari kiamat terjadi?, namun Rasulullah tetap melanjutkan khutbahnya sampai orang badui tersebut berpaling darinya, sehingga saat beliau menyempurnakan khutbahnya, beliau bertanya:”Di manakah orang yang bertanya tentang hari kiamat?”[10].
· Ibnul Jauzi berkata: Dan pada saat seorang penuntut ilmu tidak memahami suatu pelajaran, hendaklah dia bersabar sampai gurunya tersebut berhenti berbicara, lalu barulah bertanya kepada syekh dengan beradab dan cara yang lembut serta tidak memotong penjelasan gurunya saat berbicara.[11]
· Beradab dalam mengajukan pertanyaan kepada guru, maka hendaklah seseorang tidak bertanya dengan pertanyaan yang sengaja dibuat-buat dan dipaksakan, atau mengajukan pertanyaan yang telah diketahui jawabannya dengan tujuan menyingkap kelemahan guru atau untuk menampakkan kemampuan diri yang telah mengetahui masalah tersebut, atau bertanya dengan suatu pertanyaan yang tidak terjadi. Para ulama salaf mencela perbuatan seperti ini yaitu jika seseorang mengajukan pertanyaan yang dipaksakan.[12]
· Seorang penuntut ilmu harus menjalankan hak ilmu di masjid.[13]
· Seorang penuntut ilmu menjalankan hak ilmu di rumah. Imam Bukhari rahimhullah berkata: (Bab Ta’limur Rajul Amatahu Wa Ahlahu) lalu beliau menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asya’ari radhiallahu anhu berkata: Rasulullah bersabda:
ثَلاَثَةٌ لَهُمْ أَجْرَانِ: رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَآمَنَ بِمُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إِذَا أَدَّى حَقَّ اللهِ وَحَقَّ مَوَالِيْهِ وَرَجُلٌ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهَا وَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلُهُ أَجْرَانِ
“Tiga golongan akan mendapat dua pahala: Seorang lelaki dari ahli kitab yang beriman dengan Nabinya dan beriman dengan Nabi Muhammad, seorang hamba sahaya yang telah menunaikan hak Allah terhadap dirinya dan hak pemiliknya, dan lelaki yang mempunyai seorang budak perempuan lalu dia mengajarkannya akhlak dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya dan dinikahinya maka dia mendapat dua pahala”.[14]
Baca juga : Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa
· Membaca biografi para ulama.
· Membaca tentang tuntunan hukum yang berhubungan dengan beberapa musim-musim ibadah tertentu sebelum musim tersebut tiba seperti: ramadhan dan hukum-hukum yang berhubungan dengan puasa, sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dan tuntunan berkurban…”.
· Perhatian terhadap pembelian buku-buku yang secara khusus membahas masalah-masalah fiqh, seperti buku yang membahas tentang sunnah-sunnah rawatib atau shalat malam dan lain-lain…..
· Mempunyai prioritas dalam menuntut ilmu.
· Memulai dengan perkara yang terpenting, termasuk petunjuk Nabi memulai dengan perkara yang terpenting yang membuat dirinya merasa terpanggil dengannya. Oleh karena itulah, saat Utban bin Malik memanggil Rasulullah dan berkata kepadanya: “Aku ingin engkau mendatangi rumahku dan shalat padanya agar tempat yang shalatmu aku jadikan sebagai mushalla bagiku”. Maka Nabi bersama beberapa shahabat beliau begegas menuju rumahnya, lalu saat telah sampai di rumah Utban dan meminta izin untuk masuk ternyata Utban telah membuatkan bagi mereka makanan, namun Rasulullah tidak memulai dengan menyantap makanan akan tetapi bertanya kepadanya: “Di manakah tempat yang engkau ingin aku shalat padanya?”. Maka Utban pun menunjukkan tempat tersebut lalu beliau shalat padanya, kemudian barulah dia duduk untuk menyantap makanan”.[15]
· Waspada terhadap sifat merasa sudah alim.
· Memuji Allah saat menyebut namaNya.
· Bershalawat kepada Nabi saat menyebut nama beliau.
· Berdo’a agar para shahabat diredhai saat menyebut nama salah seorang dari mereka.
· Berdo’a saat menyebut nama para ulama (yang telah tiada) agar diberikan rahmat oleh Allah kepada mereka.
· Tidak menyebutkan sebuah referensi kecuali setelah engkau membaca secara langsung apa yang ada padanya.
· Tidak menisbatkan riwayat sebuah hadits kepada tokoh selain Bukahri dan Muslim jika hadits tersebut ada di dalam kitab Bukahri dan Muslim atau tercantum pada salah satu dari keduanya.
· Teliti di dalam mengambil perkataan orang lain.
· Menisbatkan sebuah kesimpulan tentang hal yang penting kepada pemiliknya.
· Tidak meremehkan sebuah kesimpulan yang penting sekalipun sedikit.
· Waspada terhadap sikap menyembunyikan kesimpulan yang penting.
· Waspada terhadap tindakan memperkuat pendapat dengan riwayat-riwayat yang lemah dan palsu.
· Tidak melemahkan sebuah hadits kecuali setalah mencari dan bertanya tentang kekuatan hadits tersebut.
· Tidak meremehkan masalah-masalah yang ditanyakan kepadamu, sebab hal tersebut menuntutnmu untuk mencari dan meneliti masalah.
· Membawa buku kecil untuk menulis masalah-masalah dan pertanyaan yang penting.
· Waspada terhadap tindakan meyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mubah.
· Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak memfoto copy manuskrip-manuskrip dan mencermati cetakan yang banyak bagi satu kitab kecuali untuk memperoleh manfaat.
· Mengunjungi toko buku-toko buku untuk mengetahui buku-buku baru.
· Menjauhi istilah-istilah ilmiyah yang sama dalam penyebutannya.[16]
· Membaca buku-buku yang menjelaskan tentang makna bagi istilah-istilah yang dipakai oleh pengarang atau menerangkan tentang metode buku tersebut dan pembahasan yang terdapat di dalamnya.
· Tidak tergesa-gesa di dalam (mengklaim diri telah) memahami pembahasan, baik pembahasan tersebut berupa tulisan yang dibaca atau sesuatu yang didengar, Ibnul Qoyyim rahimhullah menceritakan tentang Ayyub Al-Sakhtiyani rahimhullah bahwasanya beliau saat ditanya oleh seseorang ia berkata kepadanya: Ulangilah pertanyaanmu!. Jika orang tersebut mengatakan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang sebelumnya maka ia menjawab pertanyaan tersebut, namun jika tidak maka beliaupun tidak menjawabnya.[17]
· Banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan fatwa-fatwa.
· Tidak tergesa-gesa di dalam menolak sesuatu secara umum/mejeneralisir penolakan
· Jelaskanlah dengan jujur jika engkau meriwayatkan hadits dengan maknanya.[18]
· Menjauhi menggunakan kata-kata pujian untuk mengagungkan diri sendiri.
· Menerima kritik dan nasehat dengan jujur tanpa bersikap pura-pura.
· Tidak bersedih dengan minimnya orang yang belajar dari dirinya, dan Al-Dzahbi meriwayatkan tentang biogarfi Atho’ bin Abi Robah bahwa tidak belajar kepada dirinya kecuali sembilan atau delapan orang saja.[19]
· Waspada terhadap kegiatan menyia-nyiakan waktu untuk mencari sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil dan perkara-perkara yang aneh seperti warna anjing ashabul kahfi atau jenis pohon yang makan oleh Adam alais salam atau ukuran panjang kapal Nabi Nuh alahissalam dan lain-lain.
· Tidak menyibukkan diri dengan sebuah point penting atau lintasan pikiran saat mencari sebuah masalah.
· Tidak memaksakan diri memilih kata-kata yang mempunyai kedalaman makna, dan berbicaralah dengan kata-kata yang jelas sebatas kemampuan, atau tidak menggunkan kata-kata yang maknanya masih samar dan istilah-istilah yang asing.
· Tidak mengucapkan suatu jawaban tanpa ilmu atau tidak merasa sungkan dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
· Tidak terpengaruh dan merasa hina karena celaan seseorang kepadamu jika agamamu lurus dan ingatlah perkataan seorang penyair:
Jika engkau diuji dengan seorang yang tidak berilmu
Jadilah seakan kau tak mendengar dan dia tidak berucap
· Waspada agar tidak putus asa.
· Menjaga agar selalu shalat malam.
· Meninggalkan istirahat, omongan dan tidur yang berlebihan demi mendapat ilmu.
· Seorang muslim dan penuntut ilmu khususnya harus bekerja untuk:
1. Memenuhi hajat manusia, Rasulullah bersabda: “Berikanlah syafa’at niscaya engkau akan diberikan pahala”.[20]
2. Menepati janji, sesungguhnya Allah telah memuji para Nabi dan RasulNya dengan sifat ini, sebagimana disebutkan tentang Isma’il Alahissalam:
“Dia adalah seorang yang menepati janji”.[21]
3. Bersikap santun dan lembut. Firman Allah Ta’ala:
“Berikanlah maaf dan ajaklah kepada yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.[22], telah disebutkan oleh Al-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab dan Imam Adzahabi dalam kitab Tajridus Shahabah tentang biografi Auf bin Nu’man ia berkata: Seseorang pada zaman jahilyah lebih senang mati kehausan dan tidak suka mengingkari janji, dikatakan dalam sebuah sya’ir:
Jika mengatakan “Ya” pada sesuatu, sempurnakanlah!
Sebab “Ya” hutang yang wajib ditunaikan seseorang.
Jika tidak, bilang “Tidak”, tenanglah dan orangpun tenang
Seingga Orang lain tidak mengatakan kamu bohong.
4. Merendah diri…Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ agar sesorang tidak merasa sombong atas orang lain dan tidak pula seseorang berbuat zalim atas orang lain”.[23]
5. Bersikap ramah terhadap orang lain dan berlapang dada serta duduk untuk mendengarkan problema mereka.
6. Ali bin Abi Thalib berkata: Berbicaralah kepada orang lain dengan sesuatu yang mereka ketahui”. Hal ini menunjukkan bahwa perkara-perakara yang pengertiannya masih samar tidak baik untuk diungkapkan pada masyarakt umum dan seharusnya bagi seseorang untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka ketahui. Seperti yang katakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu Anhu: Tidaklah engkau berbicara kepada seseorang dengan sesuatu yang tidak dijangkau oleh akal mereka kecuali akan terjadi pada diri merka fitnah.”[25]
[1] Dan di antara riwayat yang sering diucapkan oleh orang tentang bersafari dalam menununtut ilmu adalah hadits: اُطْلُبُوْا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِاالصِّيْنِ “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Riwayat ini tidak benar berasal dari Nabi saw. Ibnu Hibban berkata: riwayat tersebut bathil dan tidak mempunyai landasan, hadits ini disebutkan dihadapan Imam Ahmad rahimhullah maka beliau mengingkari riwayat ini dengan pengingkaran yang keras. Maka hendaklah kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tersebar banyak yang mendorong untuk menunutut dan menimba ilmu sebagai ganti dari riwayat yang bathil di atas. (Ahadits muntasyirah la tastbut anin Nabi r, Syaekh Abdul Aziz Al-Sadhan).
[2] Seperti yang diungkapkan oleh Syaekh Utsaimin rahimahullah. (Fatawa Islamiyah 1/175).
[3] Al-Adaabus Syar’iyah 2/35
[4] QS. Al-Shaf: 2-3
[5] Al-Adabus Syar’iyah 2/14. Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits. Beliau berkata: Hendaklah orang tersebut banyak beramal sebagaimana ia banyak menulis”.
[6] Ibnu Aqil berkata dalam kitab (Al-funun): Di antara hal yang aku dapatkan dari adab Ahmad bin Hambal radhiallahu anhu, bahwa suatu saat dia duduk bersandar, lalu disebutkan di hadapannya nama Ibnu Thamhan, maka beliau bangkit dari sandarannya, kemudian berkata: Tidak pantas bagi kita jika disebutkan nama seorang yang shaleh namun kita tetap bersandar. Al-Adabus Syar’iyah 2/145.
[7] Al-Adabusyar’iyah 2/145.
[8] QS. Al-Nahl: 78.
[9] Al-Adabus Syar’iyah: 3/389
[10] Fathul Bari 1/171
[11] Al-Adbus Syar’iyah: 2/163.
[12] Tahdzibut Tahdzib 8/274, Al-Siar 1/398.
[13] Menajdi orang yang terdahulu dalam menghadiri shalat jum’at dan berjama’ah dan…
[14] Fathul Bari 1/229.
[15] HR. Bukahri no: 425, Muslim no: 263, hadits ini telah disebutkan oleh Syaekh Utsaimin dalam kitab syarah riadhus shalihin 3/98.
[16] Seperti kata: Muttaafaq alaihi, makna yang tersebar dan dikenal untuk ungkapan tersebut adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, namun istilah muttafaq alaihi dalam kitab: Muntaqal Akhbar, karangan Majdud Din Ibnu Taimiyah bermakna hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
[17]A’amul Muwaqi’in 2/187.
[18]Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa jika beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw, beliau merasa gentar, dan mengucapkan: “atau sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah r (Jami’u bayaninl ilmi wa fadhlihi). Dibolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya, menurut pendapat jumhur, dengan syarat dia harus mengetahui apa yang diriwayatkan tersebut, dan tidak mengakibatkan adanya perubahan hukum dengan penambahan atau pengurangan. (Al-Kitabah fi ilmir riwayah hal. 295).
[19] Siar A’lamun Nubala’: 8/107.
[20] HR. Bukhari.
[21] QS Maryam: 45.
[22] QS. Al-A’raaf: 99
[23] HR. Muslim
[24] HR. Bukhari no: 6337.
[25] HR. Muslim
· Membaca biografi para ulama.
· Membaca tentang tuntunan hukum yang berhubungan dengan beberapa musim-musim ibadah tertentu sebelum musim tersebut tiba seperti: ramadhan dan hukum-hukum yang berhubungan dengan puasa, sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dan tuntunan berkurban…”.
· Perhatian terhadap pembelian buku-buku yang secara khusus membahas masalah-masalah fiqh, seperti buku yang membahas tentang sunnah-sunnah rawatib atau shalat malam dan lain-lain…..
· Mempunyai prioritas dalam menuntut ilmu.
· Memulai dengan perkara yang terpenting, termasuk petunjuk Nabi memulai dengan perkara yang terpenting yang membuat dirinya merasa terpanggil dengannya. Oleh karena itulah, saat Utban bin Malik memanggil Rasulullah dan berkata kepadanya: “Aku ingin engkau mendatangi rumahku dan shalat padanya agar tempat yang shalatmu aku jadikan sebagai mushalla bagiku”. Maka Nabi bersama beberapa shahabat beliau begegas menuju rumahnya, lalu saat telah sampai di rumah Utban dan meminta izin untuk masuk ternyata Utban telah membuatkan bagi mereka makanan, namun Rasulullah tidak memulai dengan menyantap makanan akan tetapi bertanya kepadanya: “Di manakah tempat yang engkau ingin aku shalat padanya?”. Maka Utban pun menunjukkan tempat tersebut lalu beliau shalat padanya, kemudian barulah dia duduk untuk menyantap makanan”.[15]
· Waspada terhadap sifat merasa sudah alim.
· Memuji Allah saat menyebut namaNya.
· Bershalawat kepada Nabi saat menyebut nama beliau.
· Berdo’a agar para shahabat diredhai saat menyebut nama salah seorang dari mereka.
· Berdo’a saat menyebut nama para ulama (yang telah tiada) agar diberikan rahmat oleh Allah kepada mereka.
· Tidak menyebutkan sebuah referensi kecuali setelah engkau membaca secara langsung apa yang ada padanya.
· Tidak menisbatkan riwayat sebuah hadits kepada tokoh selain Bukahri dan Muslim jika hadits tersebut ada di dalam kitab Bukahri dan Muslim atau tercantum pada salah satu dari keduanya.
· Teliti di dalam mengambil perkataan orang lain.
· Menisbatkan sebuah kesimpulan tentang hal yang penting kepada pemiliknya.
· Tidak meremehkan sebuah kesimpulan yang penting sekalipun sedikit.
· Waspada terhadap sikap menyembunyikan kesimpulan yang penting.
· Waspada terhadap tindakan memperkuat pendapat dengan riwayat-riwayat yang lemah dan palsu.
· Tidak melemahkan sebuah hadits kecuali setalah mencari dan bertanya tentang kekuatan hadits tersebut.
· Tidak meremehkan masalah-masalah yang ditanyakan kepadamu, sebab hal tersebut menuntutnmu untuk mencari dan meneliti masalah.
· Membawa buku kecil untuk menulis masalah-masalah dan pertanyaan yang penting.
· Waspada terhadap tindakan meyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mubah.
· Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak memfoto copy manuskrip-manuskrip dan mencermati cetakan yang banyak bagi satu kitab kecuali untuk memperoleh manfaat.
· Mengunjungi toko buku-toko buku untuk mengetahui buku-buku baru.
· Menjauhi istilah-istilah ilmiyah yang sama dalam penyebutannya.[16]
· Membaca buku-buku yang menjelaskan tentang makna bagi istilah-istilah yang dipakai oleh pengarang atau menerangkan tentang metode buku tersebut dan pembahasan yang terdapat di dalamnya.
· Tidak tergesa-gesa di dalam (mengklaim diri telah) memahami pembahasan, baik pembahasan tersebut berupa tulisan yang dibaca atau sesuatu yang didengar, Ibnul Qoyyim rahimhullah menceritakan tentang Ayyub Al-Sakhtiyani rahimhullah bahwasanya beliau saat ditanya oleh seseorang ia berkata kepadanya: Ulangilah pertanyaanmu!. Jika orang tersebut mengatakan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang sebelumnya maka ia menjawab pertanyaan tersebut, namun jika tidak maka beliaupun tidak menjawabnya.[17]
· Banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan fatwa-fatwa.
· Tidak tergesa-gesa di dalam menolak sesuatu secara umum/mejeneralisir penolakan
· Jelaskanlah dengan jujur jika engkau meriwayatkan hadits dengan maknanya.[18]
· Menjauhi menggunakan kata-kata pujian untuk mengagungkan diri sendiri.
· Menerima kritik dan nasehat dengan jujur tanpa bersikap pura-pura.
· Tidak bersedih dengan minimnya orang yang belajar dari dirinya, dan Al-Dzahbi meriwayatkan tentang biogarfi Atho’ bin Abi Robah bahwa tidak belajar kepada dirinya kecuali sembilan atau delapan orang saja.[19]
· Waspada terhadap kegiatan menyia-nyiakan waktu untuk mencari sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil dan perkara-perkara yang aneh seperti warna anjing ashabul kahfi atau jenis pohon yang makan oleh Adam alais salam atau ukuran panjang kapal Nabi Nuh alahissalam dan lain-lain.
· Tidak menyibukkan diri dengan sebuah point penting atau lintasan pikiran saat mencari sebuah masalah.
· Tidak memaksakan diri memilih kata-kata yang mempunyai kedalaman makna, dan berbicaralah dengan kata-kata yang jelas sebatas kemampuan, atau tidak menggunkan kata-kata yang maknanya masih samar dan istilah-istilah yang asing.
· Tidak mengucapkan suatu jawaban tanpa ilmu atau tidak merasa sungkan dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
· Tidak terpengaruh dan merasa hina karena celaan seseorang kepadamu jika agamamu lurus dan ingatlah perkataan seorang penyair:
وَإِنْ بَلَِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ فَكُنْ كَأَنَّكَ لاَ تَسْمَعُ وَلَمْ يَقُلْ
Jika engkau diuji dengan seorang yang tidak berilmu
Jadilah seakan kau tak mendengar dan dia tidak berucap
· Waspada agar tidak putus asa.
· Menjaga agar selalu shalat malam.
· Meninggalkan istirahat, omongan dan tidur yang berlebihan demi mendapat ilmu.
· Seorang muslim dan penuntut ilmu khususnya harus bekerja untuk:
1. Memenuhi hajat manusia, Rasulullah bersabda: “Berikanlah syafa’at niscaya engkau akan diberikan pahala”.[20]
2. Menepati janji, sesungguhnya Allah telah memuji para Nabi dan RasulNya dengan sifat ini, sebagimana disebutkan tentang Isma’il Alahissalam:
إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ اْلوَعْد
“Dia adalah seorang yang menepati janji”.[21]
3. Bersikap santun dan lembut. Firman Allah Ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجهِلِيْنَ
“Berikanlah maaf dan ajaklah kepada yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.[22], telah disebutkan oleh Al-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab dan Imam Adzahabi dalam kitab Tajridus Shahabah tentang biografi Auf bin Nu’man ia berkata: Seseorang pada zaman jahilyah lebih senang mati kehausan dan tidak suka mengingkari janji, dikatakan dalam sebuah sya’ir:
إِذَا قُلـْتَ فيِ شَيْئٍ نَعـَمْ فَأَتـِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلىَ الْحُرِّ وَاجِبَةٌ
وَإِلاَّ فَقُـلْ لاَ وَاسْـتَرِحَْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَـلاَّ يَقُـوْلَ النَّاسُ إِنَّكَ كَاذِبٌ
Jika mengatakan “Ya” pada sesuatu, sempurnakanlah!
Sebab “Ya” hutang yang wajib ditunaikan seseorang.
Jika tidak, bilang “Tidak”, tenanglah dan orangpun tenang
Seingga Orang lain tidak mengatakan kamu bohong.
4. Merendah diri…Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَي إِلَيَّ أَنْ تَـوَاضَـعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَـرَ أَحَـدٌ عَلىَ أَحَـدٍ وَلاَ يَبْغِي أَحَـدٌ عَلىَ أَحـدٍ
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ agar sesorang tidak merasa sombong atas orang lain dan tidak pula seseorang berbuat zalim atas orang lain”.[23]
5. Bersikap ramah terhadap orang lain dan berlapang dada serta duduk untuk mendengarkan problema mereka.
Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi
6. Mengingatkan dan menasehati orang lain, telah berkata Ikrimah dari Ibnu Abbas radhillahu anhuma: Berbicaralah kepada manusia pada setiap jum’at satu kali atau dua kali, jika ingin menambah maka tiga kali dan janganlah engkau menjadikan orang bosan dengan Al-Qur’an ini, dan jangan pula engkau mendatangi suatu kaum saat mereka sedang berbicara sehingga bisa memotong pembicaraan mereka dan membuat mereka menjadi bosan, akan tetapi dengarlah jika mereka menyuruh kamu berbicara maka bicaralah niscaya mereka akan mendengarkan kamu sebab mereka ingin mendengar perkataanmu, serta jauhilah bersaja’ dalam berdo’a sesungguhnya aku mengetahui bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak melakukannya.[24]
6. Mengingatkan dan menasehati orang lain, telah berkata Ikrimah dari Ibnu Abbas radhillahu anhuma: Berbicaralah kepada manusia pada setiap jum’at satu kali atau dua kali, jika ingin menambah maka tiga kali dan janganlah engkau menjadikan orang bosan dengan Al-Qur’an ini, dan jangan pula engkau mendatangi suatu kaum saat mereka sedang berbicara sehingga bisa memotong pembicaraan mereka dan membuat mereka menjadi bosan, akan tetapi dengarlah jika mereka menyuruh kamu berbicara maka bicaralah niscaya mereka akan mendengarkan kamu sebab mereka ingin mendengar perkataanmu, serta jauhilah bersaja’ dalam berdo’a sesungguhnya aku mengetahui bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak melakukannya.[24]
6. Ali bin Abi Thalib berkata: Berbicaralah kepada orang lain dengan sesuatu yang mereka ketahui”. Hal ini menunjukkan bahwa perkara-perakara yang pengertiannya masih samar tidak baik untuk diungkapkan pada masyarakt umum dan seharusnya bagi seseorang untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka ketahui. Seperti yang katakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu Anhu: Tidaklah engkau berbicara kepada seseorang dengan sesuatu yang tidak dijangkau oleh akal mereka kecuali akan terjadi pada diri merka fitnah.”[25]
[1] Dan di antara riwayat yang sering diucapkan oleh orang tentang bersafari dalam menununtut ilmu adalah hadits: اُطْلُبُوْا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِاالصِّيْنِ “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Riwayat ini tidak benar berasal dari Nabi saw. Ibnu Hibban berkata: riwayat tersebut bathil dan tidak mempunyai landasan, hadits ini disebutkan dihadapan Imam Ahmad rahimhullah maka beliau mengingkari riwayat ini dengan pengingkaran yang keras. Maka hendaklah kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tersebar banyak yang mendorong untuk menunutut dan menimba ilmu sebagai ganti dari riwayat yang bathil di atas. (Ahadits muntasyirah la tastbut anin Nabi r, Syaekh Abdul Aziz Al-Sadhan).
[2] Seperti yang diungkapkan oleh Syaekh Utsaimin rahimahullah. (Fatawa Islamiyah 1/175).
[3] Al-Adaabus Syar’iyah 2/35
[4] QS. Al-Shaf: 2-3
[5] Al-Adabus Syar’iyah 2/14. Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits. Beliau berkata: Hendaklah orang tersebut banyak beramal sebagaimana ia banyak menulis”.
[6] Ibnu Aqil berkata dalam kitab (Al-funun): Di antara hal yang aku dapatkan dari adab Ahmad bin Hambal radhiallahu anhu, bahwa suatu saat dia duduk bersandar, lalu disebutkan di hadapannya nama Ibnu Thamhan, maka beliau bangkit dari sandarannya, kemudian berkata: Tidak pantas bagi kita jika disebutkan nama seorang yang shaleh namun kita tetap bersandar. Al-Adabus Syar’iyah 2/145.
[7] Al-Adabusyar’iyah 2/145.
[8] QS. Al-Nahl: 78.
[9] Al-Adabus Syar’iyah: 3/389
[10] Fathul Bari 1/171
[11] Al-Adbus Syar’iyah: 2/163.
[12] Tahdzibut Tahdzib 8/274, Al-Siar 1/398.
[13] Menajdi orang yang terdahulu dalam menghadiri shalat jum’at dan berjama’ah dan…
[14] Fathul Bari 1/229.
[15] HR. Bukahri no: 425, Muslim no: 263, hadits ini telah disebutkan oleh Syaekh Utsaimin dalam kitab syarah riadhus shalihin 3/98.
[16] Seperti kata: Muttaafaq alaihi, makna yang tersebar dan dikenal untuk ungkapan tersebut adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, namun istilah muttafaq alaihi dalam kitab: Muntaqal Akhbar, karangan Majdud Din Ibnu Taimiyah bermakna hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
[17]A’amul Muwaqi’in 2/187.
[18]Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa jika beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw, beliau merasa gentar, dan mengucapkan: “atau sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah r (Jami’u bayaninl ilmi wa fadhlihi). Dibolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya, menurut pendapat jumhur, dengan syarat dia harus mengetahui apa yang diriwayatkan tersebut, dan tidak mengakibatkan adanya perubahan hukum dengan penambahan atau pengurangan. (Al-Kitabah fi ilmir riwayah hal. 295).
[19] Siar A’lamun Nubala’: 8/107.
[20] HR. Bukhari.
[21] QS Maryam: 45.
[22] QS. Al-A’raaf: 99
[23] HR. Muslim
[24] HR. Bukhari no: 6337.
[25] HR. Muslim
Posting Komentar untuk "Adab-adab ketika Menuntut Ilmu Agama"