Ikhtilaf: Sejarah, dan Sebab-sebab Kemunculannya
Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa‘ di Ka‘bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ‖Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu‟(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri. Sengaja kami menempatkan catatan sejarah tersebut untuk membuka kran pembahasan seputar khilafiyah.
Tanpa berpanjang-panjang menyusun kalimat sebenarnya dengan membaca kisah tersebut kita bisa memetik pelajaran tentang masalah khilafiyah. Namun demikian ada baiknya kita mengetahui apa itu khilafiyah, bagaimana sejarahnya, macam-macamnya, apa saja sebab-sebab yang melatarbelakanginya, dan bagaimana baiknya kita menyikapinya.
Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Madzhab Hanafi
Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan dengan perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap‖. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik), dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.
Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu‟, dan siyasah. Hanya sebuah mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam satu istimbat hukum Islam.
Akan sangat sulit, dan mustahil bisa tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Sebuah cita-cita yang akan mendapat banyak benturan, dan sia-sia belaka. Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun As. ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.
Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya. Ikhtilaf adalah “kekayaan syari'at Islam”.
Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas).
Baca juga : Belajar Ilmu Waris, Dalil dari Hadist dan Alquran
Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu‟, ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini. Bagaimana pun perbedaan adalah suatu kepastian, sunnatullah yang manusia tidak mungkin untuk merubahnya. Allah SWT sendiri telah menetapkan adanya perbedaan itu dalam firmannya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 22)
Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang macam-macam secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:
1. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan; dan
2. Ikhtilaf yang bisa dibenarkan.
Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat. Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh masalah kerangka dasar ibadah. Namun, ketika para fuqoha mulai memasuki teknis dan operational yang tidak prinsipil ikhtilaf tidak bisa dibendung kemunculannya.
Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu‟ dan dalam masalah i‘tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, amaliyah kalangan tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.
Ikhtilaf dalam masalah furu‟ adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda: ‖Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.‖ (HR Imam Daruquthni)
Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat bahwa Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan karenanya ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak diterangkan secara rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari kesulitan.
Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan pendapat atas masalahmalasah furu‟ tersebut. Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang tidak kita temukan jawabannya secara rinci di dalam al-Qur‘an maupun hadist. Ini kemudian mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang dibenarkan dalam Islam. Sebuah hadis berikut ini memberikan penjelasan kapan dan bagaimana semestinya ijtihad dilakukan:
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu? Muadz menjawab: Saya putuskan berdasarkan Kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah? Muadz menjawab: Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Rasulullah bertanya lagi: Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya? Muadz menjawab: Maka saya akan berijtihad (ra‟yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun. Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya. (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Pernikahan
Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad. Dalam sabdanya yang lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara. Namun Amr Ibn Nash menolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian Nabi menjawab, Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala.
Perkara masih dibuka atau ditutupnya pintu ijtihad di masa sekarang membutuhkan tulisan yang panjang, dan tidak akan kami kemukakan pada kesempatan ini. Kami Cuma ingin menggaris bawahi bahwa lantaran ijtihad dari para pendahulu, baik mufasir, fiqoha, dan para pembesar Islam yang lain itulah kemudian ikhtilaf tidak bisa dihindari. Ikhtilaf berbeda dengan Iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama' iftiraq adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul (pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun amaliyah.
Salim bin Shalih Al-Marfadi sangat menyayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq ? Demikian juga (penyebabnya adalah pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut ini akan membuat perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq menjadi jelas.
1. Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk diperselisihkan. Pokokpokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma' atau telah jelas sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama'ah yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak boleh dicela sebagai yang termasuk firqah binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid'ah-nya pada masalah-masalah berikut :
a. Pada masalah yang bersifat mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari'ah, atau pada pokok syari'ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari'ah.
b. Syaikhul Islam pernah ditanya tentang batasan bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu), beliau menjawab: "Bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu) adalah bid'ah penyimpangannya dari Al-Qur'an dan Sunnah masyhur dikalangan ahli sunnah, seperti bid'ah-nya Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah ...." [Majmu Fatawa XXXV/414]
2. Ikhtilaf yang diperbolehkan itu bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan orang yang salah akan diberi pahala apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.
3. Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq menyimpang serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin. (Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh Nashr Al-Aql dalam muhadharah (ceramah) yang sangat berharga "Mafhumul Iftiraq” kemudian muhadharah itu dicetak dalam bentuk buku)
Sejarah singkat Ikhtilaf
Ikhtilaf di kalangan ummat Islam mulai kentara sejak para sahabat besar berpindah ke berbagai kota. Sebelumnya, sebagaimana diriwayatkan oleh alBaghawi di dalam kitabnya Mashabihul Huda bahwa apabila orang yang berperkara datang menghadap Abu Bakar beliau pun memperhatikan Kitabullah. Jika beliau menemukan hukum yang dimaksudkan, beliu pun menerapkan hukum itu, memutuskan dengan hukum itu. Tapi apabila beliau tidak mendapatkannya dalam kitabullah, beliu pun memperhatikan Sunnah. Jika beliau tidak juga mendapatkannya di dalam Sunnah, beliaupun bertanya kepada para sahabat yang lain.
Baca juga : Fatwa Akad Jual Beli Mobil Bekas
Kerap kali di hadapannya berkumpul sekumpulan orang-orang yang menerangkan hukum-hukum Rasul, jika tak ada yang menerangkan hukum Rasul, beliau pun mengundang sjabat-sahabat besar dan orang-orang tertentu untuk menetapkan hukum. Maka, pendapat mereka itu beliau jadikan pegangan. Itulah yang saat ini kita kenal dengan Ijma‟. Setelah sahabat-sahabat besar berpindah ke berbagai kota, maka Khilafah menghadapi kesukaran untuk mengumpulkan para ahli. Maka mulailah para shahabat ahli hukum menetapkan hukum secara sendiri-sendiri, dan mulailah timbul perselisihan paham di antara mereka dalam menetapkan hukum itu.
Posting Komentar untuk "Ikhtilaf: Sejarah, dan Sebab-sebab Kemunculannya"