Kewajiban Menutupi Aib Orang Lain
Masyarakat yang bersih, yang tidak dipenuhi berbagai berita adalah masyarakat yang selamat serta terjaga, dan yang melakukan maksiat tetap tertutup dengan tutupan Allah atasnya hingga ia bertaubat dan ditutup oleh orang-orang yang beriman, agar ia tidak berani melakukannya secara terang-terangan atau terus-menerus tanpa berhenti.
Rasulullah mencela ucapan pelaku maksiat yang mencemari dirinya sendiri dan membuka
tutupan Allah terhadapnya, beliau bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًا إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ,
وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ باِللَّيْلِ عَمَلاً, ثُمَّ
يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلُ: يَافُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا
وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ سَتَرَهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
"Setiap
umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan
termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di
malam hari, kemudian di pagi harinya -padahal Allah telah menutupnya-, ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan
itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah terhadapnya."[1]
Baca juga : Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut Fatwa Al-Azhar Mesir, Majlis Fatwa Eropa dan MUI
Rasulullah juga mencela seseorang yang mempermalukan saudaranya, karena itulah Allah menyifati orang-orang yang mencemarkan kehormatan kaum muslimin dengan lisan
mereka, sebagaimana firman Allah :
إَنَّ الَّذِينَ
يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ ءَامَنُوا
Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, (an-Nuur:19)
Dan senantiasa ancaman keras menanti mereka:
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا
وَاْلأَخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
bagi
mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nuur:19)
Dan
kebalikannya, berita gembira bagi orang-orang yang menutup aib saudara-saudara
mereka, dengan tutupan Allah kepada mereka di dunia dan akhirat, seperti yang tersebut dalam hadits shahih:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ
اللهُ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
"Dan
barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat."[2]
An-Nawawi rahimahullah
mengatakan ketika memberikan komentar terhadap hadits di atas, adapun menutup
aib orang lain yang dianjurkan di sini maksudnya adalah, menutup aib orang yang
melakukan keburukan, dari orang yang tidak terkenal melakukan keburukan dan
kerusakan. Adapun orang yang sudah dikenal seperti itu, maka dianjurkan agar
tidak menutupnya, bahkan dilaporkan kepada pemerintah, jika ia tidak
mengkhawatirkan terjadinya kerusakan yang lebih besar lagi, karena menutup hal
seperti ini membuat dia bertambah berani melakukan kerusakan dan kekacauan,
melakukan segala yang diharamkan dan membuat orang yang lain berani melakukan
hal serupa. Adapun menyebutkan cacat atau aib para perawi hadits, para saksi,
dan orang-orang yang diberi amanah terhadap sedekah, harta waqaf dan anak-anak
yatim dan semisal mereka, maka wajib menyebutkan aib mereka saat diperlukan dan
tidak boleh menyembunyikan hal itu, apabila ia melihat suatu perkara yang mengurangi
kelayakan mereka. Hal ini tidak termasuk ghibah (mengumpat) yang diharamkan,
bahkan termasuk nasehat yang wajib.[3]
Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthi
Hal itu tidak berarti engkau harus
berdiam diri di antara engkau dan dia, tanpa harus diketahui orang lain.
Apabila engkau telah mengingkari dan memberikan nasehat kepadanya, lalu ia
tidak berhenti melakukan perbuatan buruknya, kemudian ia terang-terangan
melakukannya, niscaya boleh bersaksi atasnya dengan hal itu -seperti yang
dijelaskan oleh an-Nawawi dan Ibnu Hajar- dan dibedakan di antara menutup aib
dan mengingkari, yaitu bahwa menutup aib tempatnya adalah dalam perbuatan
maksiat yang sudah berakhir, dan mengingkari pada maksiat yang sedang
dilakukan, maka wajib mengingkarinya. Jika tidak demikian, ia melaporkannya
kepada pemerintah.[4]
Dan menutup aib yang paling utama
adalah menutup aib diri sendiri, yang Allah telah
menutupinya dan Allah telah memuliakannya karena ia merasa bersalah karena berbuat maksiat dan merasa
malu darinya, yaitu dengan memberi ampunan kepadanya, sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah dalam hadits qudsi:
فَيَقُوْلُ:
أَتَعْرِفُ ذَنْبَ هَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ هذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ.
حَتىَّ إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِى نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ:سَتَرْتُهَا
عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ, فَيُعْطَى كِتَابُ حَسَنَاتِهِ.
"Allah berfirman (kepada hamba):'Apakah engkau mengetahui dosa ini? apakah engkau
mengenal dosa ini?' Ia menjawab, 'Ya, wahai Rabb.' Sehingga apabila ia telah
mengakui dosa-dosanya dan ia melihat pada dirinya bahwa ia akan binasa, Dia berfirman, 'Aku telah menutupinya atasmu di dunia dan aku mengampuninya untukmu
pada hari ini, maka diberikanlah catatan kebaikannya…"[5]
Maka hendaklah seseorang menutupi aib
dirinya, sebagaimana Allah telah menutupinya.
Termasuk di antara kemuliaan muslim terhadap
Allah,
sesungguhnya Allah akan membelanya dan membalas kepada orang yang berbuat jahat kepadanya. Dalam
hal itu, Rasulullah bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ
وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ: لاَ تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَبَّعُوْا
عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يتبعِ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ
يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِهِ.
"Wahai
sekalian orang yang beriman dengan ucapan lisannya dan iman belum masuk ke
dalam hatinya, 'Janganlah engkau mengumpat kaum muslimin dan janganlah
mencari-cari kesalahan mereka. Maka sesungguhnya orang yang mencari-cari
kesalahan mereka niscaya Allah mencari-cari kesalahannya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari kesalahannya, niscaya Dia mempermalukannya di rumahnya."[6]
Maka tutupilah aib saudara-saudaramu,
karena engkau tidak pernah akan mampu memerangi Allah,
Yang Maha Kuasa membuka segala aibmu dan mengungkap segala dosamu, sementara
manusia tidak ada yang mengetahuinya. Dan kekanglah lisanmu dari pembicaraan
menyangkut kehormatan orang lain, mencari-cari kesalahan, dan merusak harga
diri saudara-saudaramu.
Baca juga : Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa
Engkau mendapatkan jiwa yang sakit
tenggelam mendengarkan aib orang lain dan mencari-cari kesalahan, serta dibuka
majelis untuk mengungkap kesalahan orang lain. Padahal Rasulullah memerintahkan memaafkan kesalahan, dan Allah "Menyukai
sifat malu dan menutup aib",[7]
seolah-olah digabungkan di antara dua sifat yang terpuji ini (malu dan menutup
aib) karena manusia yang menyebarkan aib saudara-saudaranya, ia tidak akan bisa
melakukan hal itu kecuali setelah tidak adanya sifat malu yang menghalanginya
melakukan hal itu, dan ia tidak menutupi kecuali karena sifat malu.
Sungguh di antara petunjuk Nabi adalah lebih mengutamakan menutup aib, sampai-sampai pada orang yang melakukan
dosa besar. Karena itulah diarahkan sabdanya:
تَعَافُّوْا الْحَدُوْدَ فِيْمَا
بَيْنَكُمْ
'Tinggalkanlah
pelaksanaan hukum had di antara kamu.'[8]
Agar
tidak dibawa kepada pemerintah (pengadilan), maka ia mendapat malu dengan
dilaksanakan hukum had, dan barangkali pelakunya bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya.
Dan Rasulullah sangat berusaha menjaga kemuliaan muslim dan keselamatan jiwanya, sesungguhnya
telah datang kepada beliau seorang laki-laki yang berkata, 'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku berhak mendapat hukum had, maka laksanakanlah kepadaku.' Anas
bin Malik berkata, "Dan beliau tidak bertanya kepadanya tentang dosanya." Dan setelah shalat, laki-laki
itu mengulangi ucapannya, maka Rasulullah bersabda:
أَلَيْسَ قَدْ صَلَّيْتَ مَعَنَا
"Bukanlah engkau setelah
melaksanakan shalat bersama kami?" Ia menjawab, "Benar."
Beliau bersabda:
فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ ذَنْبَكَ
"Sesungguhnya
Allah telah mengampuni dosamu."[9]
Ibnu
Hajar berkata, "Sesungguhnya Nabi tidak meminta keterangan lebih jelas darinya, bisa jadi karena hal itu termasuk
dalam kategori tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) yang
dilarang, boleh jadi karena lebih mengutamakan menutup aib dan beliau melihat bahwa dalam melaksanakan had terhadapnya bisa menjadi penyesalan."[10]
Kesimpulan:
- Orang yang
berbuat maksiat secara tertutup akan tetap tertutup dengan tutupan Allah.
- Membuka aib
adalah perbuatan tercela, sekalipun berbicara tentang dirinya sendiri.
- Tidak ada
kontradiksi (pertentangan) di antara mengingkari perbuatan maksiat dan
menutupinya.
- Merasa senang
mendengar aib adalah pertanda adanya penyakit di dalam hati.
- Menututup aib
adalah perbuatan yang dianjurkan, sekalipun terhadap pelaku dosa besar. Wallahu
A'lam.
Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi
[1] Al-Bukhari, Kitab
al-Adab, bab 60. hadits no. 6069
[2] HR. Muslim, at-Tirmidzi,
Abu Daud, dan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. 184
[3] Syarh an-Nawawi terhadap
Shahih Muslim 16/135, kitab al-Biir wa ash-Shilah, bab 15, Syarh hadits no.
2580
[4] Fath al-Bari (5/97) dari
syarah hadits no. 2442.
[5] Shahih al-Jami', no.3021, dari Musnad Ahmad 6/145
[6] Musnad Ahmad 4/220 dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' no.7984.
[7] Musnad Ahmad 4/224, dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' no. 1756.
[8] Shahih Sunan Abu Daud
no.3680 dan Shahih Sunan an-Nasa`i no.4539
[9] Shahih al-Bukhari,
kitab al-Hudud, bab 27, no. 6823.
[10] Fath al-Bari 12/134 dari
syarah hadits 6823.
Posting Komentar untuk "Kewajiban Menutupi Aib Orang Lain"