Mekanisme Pembentukan in-situ Gel, Sistem Berbentuk Cair (liquid) pada Suhu Ruangan
Mekanisme Pembentukan in-situ Gel
Ada tiga mekanisme yang dapat digunakan sebagai pemicu terbentuknya in-situ gel dari biomaterial, diantaranya dengan stimulus fisiologik (temperatur dan pH), perubahan fisik dari biomaterial (pertukaran pelarut dan pengembangan), reaksi kimia (reaksi enzimatik, kimia,dan polimerisasi dengan inisiasi cahaya).
Baca juga : Cara Membuat Kerupuk Tulang Ikan
a. Pembentukan in-situ Gel Berdasarkan Stimulus Fisiologik
i) Sistem yang dipicu oleh suhu Hidrogel yang sensitif dengan perubahan suhu merupakan polimer sensitif yang paling sering diteliti dalam penelitian penghantaran obat. Penggunaan dari biomaterial yang dapat bertransisi dari larutan menjadi gel yang dipicu oleh peningkatan temperatur ini merupakan suatu cara yang atraktif dalam pembentukan in-situ gel. Rentang temperatur yang ideal untuk sistem tersebut adalah suhu lingkungan dan suhu fisiologis, sehingga manipulasi klinis terfasilitasi dan tidak ada sumber panas eksternal selain panas tubuh untuk memicu terbentuknya gel. Larutan polimer dari sistem ini merupakan larutan yang mudah mengalir pada suhu ruangan dan berbentuk gel pada suhu tubuh. Sistem seperti ini dapat diadministrasikan dengan mudah ke dalam rongga tubuh yang diinginkan.
ii) Sistem yang dipicu oleh perubahan pH Mekanisme lain pembentukkan in-situ gel dengan stimulus fisiologik adalah pembentukkan gel yang dipicu oleh adanya perubahan pH. Polimer yang sensitif dengan perubahan pH mengandung gugus asam atau kelompok dasar yang dapat menerima atau melepaskan proton sebagai respon terhadap perubahan pH lingkungan. Kelompok polimer dengan derajat ionisasi yang besar dikenal sebagai polielektrolit. Pengembangan hidrogel meningkat seiring dengan meningkatnya pH bagi kelompok asam lemah (anionik), tetapi akan menurun bagi kelompok polimer yang mengandung basa lemah (kationik).
Polimer sensitif pH kelompok anionik yang sering digunakan adalah PAA (Carbopol, carbomer) atau derivatnya. Sama halnya dengan larutan polivinilasetat dietilaminoasetat (AEA) yang memiliki viskositas rendah pada pH 4 dan membentuk hidrogel pada kondisi pH netral. Zat aktif yang diformulasi dalam bentuk larutan memiliki beberapa keterbatasan, termasuk keterbatasan bioavailabilitas dan cenderung mudah dihilangkan oleh cairan mata. Kumar dan Himmelstein berusaha untuk meminimalkan faktor ini dan memaksimalkan penghantaran obat dengan cara membuat sebuah larutan asam poliakrilat (PAA) yang akan menjadi gel pada pH 7,4. Mereka menemukan bahwa pada konsentrasi yang tinggi dari larutan tersebut akan menyebabkan pembentukan gel, namun bagaimanapun, larutan PAA yang memiliki pH rendah dapat mengakibatkan kerusakan pada permukaan mata sebelum dinetralisasi oleh cairan lakrimal. Masalah ini telah diselesaikan dengan mengkombinasikan PAA dengan HPMC, sebuah peningkat viskositas, yang menghasilkan campuran polimer yang responsif yang berbentuk larutan pada pH 4 dan gel pada pH 7,4.
b. Pembentukkan in-situ Gel berdasarkan Mekanisme Fisik
i) Pengembangan (Swelling) Pembentukan in-situ gel dapat juga terjadi ketika zat menyerap air dari lingkungan sekitar dan mengembang. Salah satu zat dengan sistem ini adalah gliserol mono-oleat, yang merupakan lemak polar yang dapat mengembang dalam air untuk membentuk struktur fasa kristalin. Zat ini memiliki sifat bioadhesif dan dapat terdegradasi oleh enzim.
a. Pembentukan in-situ Gel Berdasarkan Stimulus Fisiologik
i) Sistem yang dipicu oleh suhu Hidrogel yang sensitif dengan perubahan suhu merupakan polimer sensitif yang paling sering diteliti dalam penelitian penghantaran obat. Penggunaan dari biomaterial yang dapat bertransisi dari larutan menjadi gel yang dipicu oleh peningkatan temperatur ini merupakan suatu cara yang atraktif dalam pembentukan in-situ gel. Rentang temperatur yang ideal untuk sistem tersebut adalah suhu lingkungan dan suhu fisiologis, sehingga manipulasi klinis terfasilitasi dan tidak ada sumber panas eksternal selain panas tubuh untuk memicu terbentuknya gel. Larutan polimer dari sistem ini merupakan larutan yang mudah mengalir pada suhu ruangan dan berbentuk gel pada suhu tubuh. Sistem seperti ini dapat diadministrasikan dengan mudah ke dalam rongga tubuh yang diinginkan.
ii) Sistem yang dipicu oleh perubahan pH Mekanisme lain pembentukkan in-situ gel dengan stimulus fisiologik adalah pembentukkan gel yang dipicu oleh adanya perubahan pH. Polimer yang sensitif dengan perubahan pH mengandung gugus asam atau kelompok dasar yang dapat menerima atau melepaskan proton sebagai respon terhadap perubahan pH lingkungan. Kelompok polimer dengan derajat ionisasi yang besar dikenal sebagai polielektrolit. Pengembangan hidrogel meningkat seiring dengan meningkatnya pH bagi kelompok asam lemah (anionik), tetapi akan menurun bagi kelompok polimer yang mengandung basa lemah (kationik).
Polimer sensitif pH kelompok anionik yang sering digunakan adalah PAA (Carbopol, carbomer) atau derivatnya. Sama halnya dengan larutan polivinilasetat dietilaminoasetat (AEA) yang memiliki viskositas rendah pada pH 4 dan membentuk hidrogel pada kondisi pH netral. Zat aktif yang diformulasi dalam bentuk larutan memiliki beberapa keterbatasan, termasuk keterbatasan bioavailabilitas dan cenderung mudah dihilangkan oleh cairan mata. Kumar dan Himmelstein berusaha untuk meminimalkan faktor ini dan memaksimalkan penghantaran obat dengan cara membuat sebuah larutan asam poliakrilat (PAA) yang akan menjadi gel pada pH 7,4. Mereka menemukan bahwa pada konsentrasi yang tinggi dari larutan tersebut akan menyebabkan pembentukan gel, namun bagaimanapun, larutan PAA yang memiliki pH rendah dapat mengakibatkan kerusakan pada permukaan mata sebelum dinetralisasi oleh cairan lakrimal. Masalah ini telah diselesaikan dengan mengkombinasikan PAA dengan HPMC, sebuah peningkat viskositas, yang menghasilkan campuran polimer yang responsif yang berbentuk larutan pada pH 4 dan gel pada pH 7,4.
b. Pembentukkan in-situ Gel berdasarkan Mekanisme Fisik
i) Pengembangan (Swelling) Pembentukan in-situ gel dapat juga terjadi ketika zat menyerap air dari lingkungan sekitar dan mengembang. Salah satu zat dengan sistem ini adalah gliserol mono-oleat, yang merupakan lemak polar yang dapat mengembang dalam air untuk membentuk struktur fasa kristalin. Zat ini memiliki sifat bioadhesif dan dapat terdegradasi oleh enzim.
Baca juga : Fakta Tentang Kerupuk Tulang Ikan
ii) Difusi Metoda ini melibatkan difusi pelarut dari larutan polimer ke dalam jaringan sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya pengendapan atau pemadatan matriks polimer. N-methyl pirolidon (NMP) terbukti sebagai pelarut yang dapat digunakan untuk sistem tersebut.
c. Sistem Pembentukan in-situ Gel Berdasarkan Reaksi Kimia
Reaksi kimia yang menghasilkan pembentukkan gel meliputi pengendapan padatan anorganik dari larutan ionik lewat jenuh, proses enzimatik, dan proses inisiasi cahaya.
i) Ikatan silang ionik Polimer dapat mengalami fase transisi dengan adanya berbagai ion. Beberapa polisakarida termasuk dalam kelompok yang sensitif-ion. Sementara k-karagenan membentuk gel yang kaku dan rapuh dengan adanya sejumlah kecil ion K+, i-karagenan membentuk gel yang elastik terutama dengan adanya ion Ca2+. Gellan gum secara komersial tersedia sebagai Gelrite yang merupakan polisakarida anionik yang mengalami pembentukkan in-situ gel dengan adanya kation mono- dan di-valen, termasuk Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+.
ii) Difusi Metoda ini melibatkan difusi pelarut dari larutan polimer ke dalam jaringan sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya pengendapan atau pemadatan matriks polimer. N-methyl pirolidon (NMP) terbukti sebagai pelarut yang dapat digunakan untuk sistem tersebut.
c. Sistem Pembentukan in-situ Gel Berdasarkan Reaksi Kimia
Reaksi kimia yang menghasilkan pembentukkan gel meliputi pengendapan padatan anorganik dari larutan ionik lewat jenuh, proses enzimatik, dan proses inisiasi cahaya.
i) Ikatan silang ionik Polimer dapat mengalami fase transisi dengan adanya berbagai ion. Beberapa polisakarida termasuk dalam kelompok yang sensitif-ion. Sementara k-karagenan membentuk gel yang kaku dan rapuh dengan adanya sejumlah kecil ion K+, i-karagenan membentuk gel yang elastik terutama dengan adanya ion Ca2+. Gellan gum secara komersial tersedia sebagai Gelrite yang merupakan polisakarida anionik yang mengalami pembentukkan in-situ gel dengan adanya kation mono- dan di-valen, termasuk Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+.
Pembentukkan gel dari pektin bermetoksi rendah dapat disebabkan oleh adanya kation divalen, terutama Ca2+. Demikian juga dengan asam alginat yang dapat mengalami pembentukkan gel dengan adanya kation divalen/polivalen seperti Ca2+ karena adanya interaksi dengan asam guluronat dalam rantai alginat.
ii) Ikatan silang enzimatik Dalam pembentukkan in-situ yang dikatalisis oleh enzim alami belum diteliti secara luas tetapi tampaknya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan kimia dan fotokimia. Sebagai contoh, proses enzimatik dapat beroperasi secara efisien dibawah kondisi fisiologis tanpa memerlukan bahan kimia yang berpotensi berbahaya seperti monomer. Sistem penghantaran dengan rangsangan responsif dengan menggunakan hidrogel telah diselidiki dapat melepaskan insulin. Polimer kationik yang sensitif pH mengandung insulin terimobilisasi dan glukosa oksidase yang dapat mengembang sebagai respon terhadap kadar glukosa darah, melepaskan insulin yang terperangkap dengan cara pulsasi (berdenyut). Menyesuaikan jumlah enzim juga merupakan mekanisme yang baik untuk mengatur laju pembentukkan gel, yang memungkinkan campuran dapat diinjeksikan sebelum membentuk gel.
iii) Polimerisasi cahaya Polimerisasi cahaya merupakan mekanisme yang sering digunakan dalam pembentukkan biomaterial. Suatu larutan dari monomer atau makromer yang reaktif dan inisiator dapat diinjeksikan ke dalam jaringan dan radiasi elektromagnetik diperlukan untuk membentuk gel. Akrilat atau gugus fungsi berpolimer dapat mengalami polimerisasi cahaya dengan adanya inisiasi cahaya yang cocok. Biasanya digunakan panjang gelombang cahaya UV dan cahaya tampak. Panjang gelombang UV tidak terlalu sering digunakan karena memiliki penetrasi jaringan tang terbatas dan berbahaya secara biologis. Sebuah keton, seperti 2,2 dimetoksi-2fenilasetofenon sering digunakan sebagai inisiator dalam polimerisasi cahaya UV, sedangkan inisiator etil eosin sering digunakan untuk cahaya tampak. Sistem ini dapat dirancang agar mudah diuraikan oleh bahan kimia atau proses enzimatik. Reaksi cahaya memberikan tingkat polimerisasi yang cepat pada suhu fisiologis.
Baca juga : Kebutuhan Asam Amino Essensial dalam Pakan Ikan
In-situ gel dapat dievaluasi dengan parameter sebagai berikut:
1) Kejernihan. Kejernihan Larutan ditentukan dengan pemeriksaan visual dengan menggunakan latar belakang hitam atau putih.
2) Analisis Tekstur. Kekokohan, konsistensi, dan daya kohesivitas formulasi dievaluasi dengan menggunakan texture analyzer yang dapat mengidentifikasi syringeability dari suatu larutan sehingga formula tersebut dapat diadmisintrasikan dengan mudah secara in-vivo. Kemampuan adhesi yang tinggi dari suatu sistem pembentuk gel diperlukan untuk mempertahankan kontak dengan permukaan seperti jaringan.
3) Kekentalan dan Reologi. Kekentalan dan Reologi merupakan parameter paling penting dalam evaluasi sistem in-situ gel. Viskositas dan reologi ditentukan dengan menggunakan Rheometer Brookfield atau dengan alat lain seperti Viskometer Oswald. Viskositas formulasi ini harus sedemikian rupa sehingga tidak ada kesulitan selama administrasi oleh pasien, terutama selama administrasi parenteral dan okular.
4) Waktu dan Suhu Transisi Larutan-Gel. Untuk sistem in-situ gel yang membentuk polimer thermoreversible, suhu transisi larutan-gel didefinisikan sebagai suhu yang pertama dicatat dimana fase transisi dari meniscus larutan ketika disimpan dalam tabung pada suhu tertentu dan kemudian dipanaskan hingga tingkat tertentu. Pembentukkan gel ditunjukkan dengan kurangnya gerakan meniscus pada saat memiringkan tabung. Waktu pembentukkan gel adalah waktu deteksi pertama hingga pembentukan gel seperti definisi diatas.
Evaluasi Sediaan In-situ Gel
In-situ gel dapat dievaluasi dengan parameter sebagai berikut:
1) Kejernihan. Kejernihan Larutan ditentukan dengan pemeriksaan visual dengan menggunakan latar belakang hitam atau putih.
2) Analisis Tekstur. Kekokohan, konsistensi, dan daya kohesivitas formulasi dievaluasi dengan menggunakan texture analyzer yang dapat mengidentifikasi syringeability dari suatu larutan sehingga formula tersebut dapat diadmisintrasikan dengan mudah secara in-vivo. Kemampuan adhesi yang tinggi dari suatu sistem pembentuk gel diperlukan untuk mempertahankan kontak dengan permukaan seperti jaringan.
3) Kekentalan dan Reologi. Kekentalan dan Reologi merupakan parameter paling penting dalam evaluasi sistem in-situ gel. Viskositas dan reologi ditentukan dengan menggunakan Rheometer Brookfield atau dengan alat lain seperti Viskometer Oswald. Viskositas formulasi ini harus sedemikian rupa sehingga tidak ada kesulitan selama administrasi oleh pasien, terutama selama administrasi parenteral dan okular.
4) Waktu dan Suhu Transisi Larutan-Gel. Untuk sistem in-situ gel yang membentuk polimer thermoreversible, suhu transisi larutan-gel didefinisikan sebagai suhu yang pertama dicatat dimana fase transisi dari meniscus larutan ketika disimpan dalam tabung pada suhu tertentu dan kemudian dipanaskan hingga tingkat tertentu. Pembentukkan gel ditunjukkan dengan kurangnya gerakan meniscus pada saat memiringkan tabung. Waktu pembentukkan gel adalah waktu deteksi pertama hingga pembentukan gel seperti definisi diatas.
Baca juga : Kebutuhan Nutrisi Lemak dalam Pakan Ikan
5) Kekuatan Gel. Parameter ini dapat dievaluasi dengan menggunakan rheometer. Bergantung pada mekanisme pembentukkan gel yang digunakan, sejumlah gel disiapkan di dalam beaker, dalam bentuk larutan. Jumlah gel dalam beaker tersebut akan meningkat sedalam beberapa waktu, lalu beri dorongan dengan satelit secara perlahan melewati gel. Perubahan beban pada satelit dapat diukur sebagai fungsi dari kedalaman pencelupan satelit di bawah permukaan gel.
5) Kekuatan Gel. Parameter ini dapat dievaluasi dengan menggunakan rheometer. Bergantung pada mekanisme pembentukkan gel yang digunakan, sejumlah gel disiapkan di dalam beaker, dalam bentuk larutan. Jumlah gel dalam beaker tersebut akan meningkat sedalam beberapa waktu, lalu beri dorongan dengan satelit secara perlahan melewati gel. Perubahan beban pada satelit dapat diukur sebagai fungsi dari kedalaman pencelupan satelit di bawah permukaan gel.
Posting Komentar untuk "Mekanisme Pembentukan in-situ Gel, Sistem Berbentuk Cair (liquid) pada Suhu Ruangan"