Pola Asuh Makan Anak Adalah : Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan
Usia tahun pertama setelah lahir merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang relatif cepat. Selama periode ini, bayi tergantung sepenuhnya pada makanan yang diberikan oleh ibunya. Makanan yang tidak memenuhi syarat baik mutu gizinya maupun jumlahnya yang tidak sesuai kebutuhan akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tubuh anak (Moehji, 1988). Sependapat dengan hal tersebut, menurut Depkes RI (2005), gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan bayi antara lain disebabkan karena kekurangan gizi sejak bayi, pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai, dan yang tidak kalah penting ibu tidak berhasil memberi ASI eksklusif kepada bayi.
Baca juga : Perbedaan Kepribadian Antisosial dan Kepribadian Introvert
Kekurangan gizi pada masa bayi dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit (Depkes RI, 2005)
Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2010, prevalensi status gizi bayi dan balita berdasarkan berat badan per umur menunjukkan 5,8 % gizi lebih, 13% gizi kurang dan 4,9 % gizi buruk dari total seluruh bayi dan balita di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Provinsi Jawa Timur sendiri berada di urutan ke 20 dengan kasus bayi dan balita gizi buruk. Hal ini di tunjukan dengan prevalensi bayi dan balita gizi buruk sebesar 4,8 %, sedangkan Kota Malang berada di urutan ke 21 dari 38 kota di Jawa Timur, dengan persentase kejadian gizi buruk sebanyak 3,1 %, dan di Kabupaten Malang sendiri sampai bulan agustus 2012 masih terdapat 289 bayi dan balita gizi buruk yang tersebar di 39 kecamatan. Kecamatan Tajinan berada di urutan ke 9 dengan kasus gizi buruk pada bayi dan balita sebanyak 4 kasus dan menurut data dari puskesmas, desa Jatisari berada di urutan ke 9 dari 11 desa, dengan riwayat kasus gizi buruk sebanyak 1 (25%) dari total kasus yang ada di Kecamatan Tajinan.
Sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji, 1988). Untuk mencapai status gizi yang baik dan tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat-zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas). Semua makanan khususnya untuk bayi dan anak kecil harus memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi, hal ini dapat dicapai dengan menggunakan beragam bahan makanan (Suhardjo, 1992).
Pola asuh makan adalah cara pemberian makan pada anak bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan (Khomsan, 2002).
Sedangkan menurut Karyadi (1985), pola asuh makan adalah praktek-praktek yang diterapkan ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi makan.
Menurut Dina dan Maria (2002), makanan untuk bayi dan anak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan.
3. Bentuk dan porsi makan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faali bayi/anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Di Indonesia pola asuh makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Suhardjo, 1992).
a. Pengetahuan gizi ibu
Pengetahuan gizi menjadi landasan penting untuk menentukan konsumsi pangan keluarga (Nasution, 1995). Walaupun kekurangan daya beli merupakan hal yang utama tetapi sebagian kasus kekurangan gizi dapat diatasi dengan adanya pengetahuan gizi yang baik dari ibu. Selai itu di beberapa Negara dilaporkan bahwa penyebab utama gizi salah bukan karena kemiskinan tetapi karena kurangnya pengetahuan tentang makanan (Berg, 1986).
Walaupun bahan makanan dapat disediakan oleh keluarga dan daya beli memadai, tetapi kekurangan pengetahuan dapat mengakibatkan keluarga tidak menyediakan makanan yang beranekaragam setiap hari bagi anggota keluaragnya. Pada akhirnya asupan gizi tidak sesuai dengan kebutuhan. Ibu-ibu yang berpengetahuan gizi baik akan baik akan mengupayakan kemampuan menerapkan pengetahuannya di dalam pemilihan dan pengolahan pangan, sehingga konsumsi makanan yang mencukupi kebutuhan lebih terjamin (Nasution & Khomsan, 1995).
Kekurangan gizi pada masa bayi dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit (Depkes RI, 2005)
Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2010, prevalensi status gizi bayi dan balita berdasarkan berat badan per umur menunjukkan 5,8 % gizi lebih, 13% gizi kurang dan 4,9 % gizi buruk dari total seluruh bayi dan balita di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Provinsi Jawa Timur sendiri berada di urutan ke 20 dengan kasus bayi dan balita gizi buruk. Hal ini di tunjukan dengan prevalensi bayi dan balita gizi buruk sebesar 4,8 %, sedangkan Kota Malang berada di urutan ke 21 dari 38 kota di Jawa Timur, dengan persentase kejadian gizi buruk sebanyak 3,1 %, dan di Kabupaten Malang sendiri sampai bulan agustus 2012 masih terdapat 289 bayi dan balita gizi buruk yang tersebar di 39 kecamatan. Kecamatan Tajinan berada di urutan ke 9 dengan kasus gizi buruk pada bayi dan balita sebanyak 4 kasus dan menurut data dari puskesmas, desa Jatisari berada di urutan ke 9 dari 11 desa, dengan riwayat kasus gizi buruk sebanyak 1 (25%) dari total kasus yang ada di Kecamatan Tajinan.
Sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji, 1988). Untuk mencapai status gizi yang baik dan tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat-zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas). Semua makanan khususnya untuk bayi dan anak kecil harus memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi, hal ini dapat dicapai dengan menggunakan beragam bahan makanan (Suhardjo, 1992).
Pengertian Pola Asuh Makan
Pola asuh makan adalah cara pemberian makan pada anak bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan (Khomsan, 2002).
Sedangkan menurut Karyadi (1985), pola asuh makan adalah praktek-praktek yang diterapkan ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi makan.
Baca juga : Tips Mendidik Anak Agar Punya Kepercayaan Diri yang Tinggi
Pola asuh makan yang baik adalah yang menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan sebaliknya pola asuh makan yang buruk adalah yang menghambat terpenuhinya kecukupan gizi. Makanan yang diberikan kepada anak harusnya memadai dalam hal kuantitas, kualitas makanan, serasi dengan tahap perkembangan anak, cara pengaturan, dan pemberian makan yang benar (Sediaoetama, 1993).
Anak yang memperoleh pola asuh makan yang kurang baik cenderung mengalami kesulitan makan dan berakibat pada berkurangnya tingkat konsumsi zat gizi. Apabila keadaan ini berlangsung lama akan mempengaruhi status gizinya (Karyadi, 1985)
Pola asuh makan yang baik adalah yang menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan sebaliknya pola asuh makan yang buruk adalah yang menghambat terpenuhinya kecukupan gizi. Makanan yang diberikan kepada anak harusnya memadai dalam hal kuantitas, kualitas makanan, serasi dengan tahap perkembangan anak, cara pengaturan, dan pemberian makan yang benar (Sediaoetama, 1993).
Anak yang memperoleh pola asuh makan yang kurang baik cenderung mengalami kesulitan makan dan berakibat pada berkurangnya tingkat konsumsi zat gizi. Apabila keadaan ini berlangsung lama akan mempengaruhi status gizinya (Karyadi, 1985)
Menurut Dina dan Maria (2002), makanan untuk bayi dan anak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan.
3. Bentuk dan porsi makan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faali bayi/anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Di Indonesia pola asuh makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Suhardjo, 1992).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan
a. Pengetahuan gizi ibu
Pengetahuan gizi menjadi landasan penting untuk menentukan konsumsi pangan keluarga (Nasution, 1995). Walaupun kekurangan daya beli merupakan hal yang utama tetapi sebagian kasus kekurangan gizi dapat diatasi dengan adanya pengetahuan gizi yang baik dari ibu. Selai itu di beberapa Negara dilaporkan bahwa penyebab utama gizi salah bukan karena kemiskinan tetapi karena kurangnya pengetahuan tentang makanan (Berg, 1986).
Walaupun bahan makanan dapat disediakan oleh keluarga dan daya beli memadai, tetapi kekurangan pengetahuan dapat mengakibatkan keluarga tidak menyediakan makanan yang beranekaragam setiap hari bagi anggota keluaragnya. Pada akhirnya asupan gizi tidak sesuai dengan kebutuhan. Ibu-ibu yang berpengetahuan gizi baik akan baik akan mengupayakan kemampuan menerapkan pengetahuannya di dalam pemilihan dan pengolahan pangan, sehingga konsumsi makanan yang mencukupi kebutuhan lebih terjamin (Nasution & Khomsan, 1995).
Baca juga : Manfaat dan Kandungan Gizi Rumput sebagai Makanan Ternak
Baliwati, dkk (2004) mengemukakan bahwa cara mengukur tingkat pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan skoring :
1. Tingkat pengetahuan baik bila didapatkan hasil > 80% jawaban yang benar.
2. Tingkat pengetahuan sedang bila diddapatkan hasil 60-80 % jawaban yang benar
3. Tingkat pengetahuan kurang bila didapatkan hasil <60 % jawaban yang benar.
b. Status bekerja ibu
Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seorang ibu untuk bekerja di dalam dan diluar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam keluarga. Orang tua yang memiliki tempat kerja yang jauh letaknya dan dalam upaya menambah pendapatan keluarga, mungkin anak-anak harus menunggu beberapa saat sampai ibu pulang. Untuk menjaga anak-anaknya ibu cenderung memberikan uang untuk membelikan jajanan yang rendah mutu gizinya (Khumaidi, 1989).
Menurut Mardiarti (2000), yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak balita di Kecamatan Hamparan Perak memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus gizi baik lebih banyak ditemukan pada ibu yang tidak bekerja(43,24%) dibandingkan dengan ibu yang bekerja (40,54%).
Steven (2005) mengatakan, menurut lamanya waktu ibu untuk mengasuh anak maka pekerjaan ibu dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
c. Pendidikan ibu
Pendidikan orang tua terutama ibu sangat berperan dalam proses pertumbuhan anak. Pendidikan yang baik akan memperoleh segala infornasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Pada negara maju, selain orang tua yang diberikan pendidikan gizi, maka anak juga patut mendapatkannya agar terbiasa hidup sehat (Soetjiningsih, 1995).
Sasaran utama dari pendidikan gizi keluarga adalah ibu berperan untuk mengatur makanan keluarga. Tujuan dari pendidikan gizi keluarga yaitu mengubah perbuatan-perbuatan keliru yang dapat mengakibatkan bahaya gizi kurang (Sajogyo, 1994). Orang tua yang berpengetahuan dan berpendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang cara pemberian makan anaknya yang sehat dan bergizi baik. Hal tersebut karena orang tua mengerti tentang pemilihan dan pengolahan makanan sehingga konsumsi makanan dapat mencukupi kebutuhan dan lebih terjamin.
Tingkat pendidikan ibu diklasifikasikan menjadi 3 kategori menurut Mendiknas (2000), yaitu :
Menurut Sihombing (2005), yang meneliti pola pengasuhan dan statsu gizi anak balita di Kecamatan Medan Sunggal memperlihatkan hasil bahwa, semakin tua umur ibu dan semakin tinggi pendidikan ibu, serta ibu tidak bekerja maka pola pengasuhannya semakin baik.
Baliwati, dkk (2004) mengemukakan bahwa cara mengukur tingkat pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan skoring :
1. Tingkat pengetahuan baik bila didapatkan hasil > 80% jawaban yang benar.
2. Tingkat pengetahuan sedang bila diddapatkan hasil 60-80 % jawaban yang benar
3. Tingkat pengetahuan kurang bila didapatkan hasil <60 % jawaban yang benar.
b. Status bekerja ibu
Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seorang ibu untuk bekerja di dalam dan diluar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam keluarga. Orang tua yang memiliki tempat kerja yang jauh letaknya dan dalam upaya menambah pendapatan keluarga, mungkin anak-anak harus menunggu beberapa saat sampai ibu pulang. Untuk menjaga anak-anaknya ibu cenderung memberikan uang untuk membelikan jajanan yang rendah mutu gizinya (Khumaidi, 1989).
Menurut Mardiarti (2000), yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak balita di Kecamatan Hamparan Perak memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus gizi baik lebih banyak ditemukan pada ibu yang tidak bekerja(43,24%) dibandingkan dengan ibu yang bekerja (40,54%).
Steven (2005) mengatakan, menurut lamanya waktu ibu untuk mengasuh anak maka pekerjaan ibu dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
- Bekerja di luar rumah : bila ibu bekerja / melakukan kegiatan rutin selain ibu rumah tangga diluar rumah (petani, PNS, pegawai swasta, pembantu) sehingga waktu ibu mengasuh anak < 10 jam sehari.
- Bekerja di dalam rumah : bila ibu bekerja / melakukan kegiatan rutin selain ibu rumah tangga diluar rumah (petani, PNS, pegawai swasta, pembantu) sehingga waktu ibu mengasuh anak = 10 jam sehari.
- Tidak bekerja : bila kegiatan rutin ibu hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga waktu ibu mengasuh anak > 10 jam sehari.
c. Pendidikan ibu
Pendidikan orang tua terutama ibu sangat berperan dalam proses pertumbuhan anak. Pendidikan yang baik akan memperoleh segala infornasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Pada negara maju, selain orang tua yang diberikan pendidikan gizi, maka anak juga patut mendapatkannya agar terbiasa hidup sehat (Soetjiningsih, 1995).
Sasaran utama dari pendidikan gizi keluarga adalah ibu berperan untuk mengatur makanan keluarga. Tujuan dari pendidikan gizi keluarga yaitu mengubah perbuatan-perbuatan keliru yang dapat mengakibatkan bahaya gizi kurang (Sajogyo, 1994). Orang tua yang berpengetahuan dan berpendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang cara pemberian makan anaknya yang sehat dan bergizi baik. Hal tersebut karena orang tua mengerti tentang pemilihan dan pengolahan makanan sehingga konsumsi makanan dapat mencukupi kebutuhan dan lebih terjamin.
Tingkat pendidikan ibu diklasifikasikan menjadi 3 kategori menurut Mendiknas (2000), yaitu :
- Pendidikan tinggi : bila ibu menamatkan akademi/perguruan tinggi
- Pendidikan menengah : bila ibu menamatkan SMA sederajat
- Pendidikan rendah : bila ibu tamat/tidak tamat SD dan SMP
Baca juga : Tips Bermain Sosial Media
Menurut Sihombing (2005), yang meneliti pola pengasuhan dan statsu gizi anak balita di Kecamatan Medan Sunggal memperlihatkan hasil bahwa, semakin tua umur ibu dan semakin tinggi pendidikan ibu, serta ibu tidak bekerja maka pola pengasuhannya semakin baik.
Posting Komentar untuk "Pola Asuh Makan Anak Adalah : Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan"