Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia, Bank Umum Syariah dan Cabang Syariah Konvensional
SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Pada zaman pra islam, sebenarnya telah ada bentuk-bentuk perdagangan yang sekarang dikembangkan di dunia bisnis modern. Bentuk-bentuk itu misalnya : musyarokah, ba’i takjiri, ijaroh, takaful, ba’i bithaman ajil, kredit pemilikan barang, pinjam dengan tambahan bunga.
Bentuk-bentuk perdagangan tersebut telah berkembang di jazirah Arab karena letaknya yang amat strategis bagi perdagangan waktu itu, khususnya berpusat di kota Makkah, jeddah, dan Madinah. Jazirah Arab yang berada di jalur perdagangan antara Asia Afrika—Eropa kernungkinan besar telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ekonomi Mesir Purba, Yunani Kuno dan Romawi sekitar 2500 tahun sebelum masehi telah mengenal sistem perbankan. Demikian pula Babilonia yang sekarang menjadi wilayah Irak juga telah mengenal sistem perbankan ± 2000 tahun sebelum masehi. Dengan demikian apabila Islam melarang praktik riba pada ±2633 tahun kemudian (sekitar tahun 633 Masehi), maka larangan itu berarti tidak hanya di tunjukkan kepada perorangan selaku mukallaf tetapi juga ditunjukkan kepada lembaganya. Larangan membungakan uang ini tidak hanya terdapat di dalam ajaran Islam. Agama-agama samawi lainnya seperti Kristen dan Yahudi juga melarangnya. Misalnya di dalam perjanjian lama kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 dinyatakan, "jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih utang terhadap dia, janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya."
Baca juga : Manfaat dan Pembiayaan BPJS, Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan oleh BPJS
Demikian pula di dalam Deuteronotif (kitab ulangan) pasal 23 ayat 19 dinyatakan "janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apa saja yang dapat dibungakan".
Sikap umat terhadap larangan riba pada waktu itu sangat patuh. Ternyata kepatuhan umat terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak terlarang, dan terbukti mampu mengantarkan umat Islam kepada masa kejayannya dimulai sekitar tahun 633 Masehi hingga ratusan tahun kemudian. Namur masa kejayaan itu tidak dapat dipertahankan akibat perpecahan kalangan umat Islam sendiri disertai keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai korban dari kolonialisasi bangsa Eropa di sekitar abad ke-16. (Kamaen A. Penfivtaatmadja 1993: 25).
Pada masa Rasulullah, yang membawa risalah Islam sebagai petunjuk bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang berlaku dan dapat dikembangkan pada masa-masa berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah-satu larangan itu adalah larangan usaha yang mengandung riba, di mana ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia 60 tahun. Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini. Dalam hubungan inilah peranan ijtihad para cendekiawan Muslim sangat diharapkan untuk menggali konsepsi dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.
Secara kolektif, gagasan berdirinya Bank Islam di tingkat internasional, muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia, di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21 sampai dengan 27April 1969, yang diikuti oleh 19 negara peserta.
Demikian pula di dalam Deuteronotif (kitab ulangan) pasal 23 ayat 19 dinyatakan "janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apa saja yang dapat dibungakan".
Sikap umat terhadap larangan riba pada waktu itu sangat patuh. Ternyata kepatuhan umat terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak terlarang, dan terbukti mampu mengantarkan umat Islam kepada masa kejayannya dimulai sekitar tahun 633 Masehi hingga ratusan tahun kemudian. Namur masa kejayaan itu tidak dapat dipertahankan akibat perpecahan kalangan umat Islam sendiri disertai keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai korban dari kolonialisasi bangsa Eropa di sekitar abad ke-16. (Kamaen A. Penfivtaatmadja 1993: 25).
Pada masa Rasulullah, yang membawa risalah Islam sebagai petunjuk bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang berlaku dan dapat dikembangkan pada masa-masa berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah-satu larangan itu adalah larangan usaha yang mengandung riba, di mana ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia 60 tahun. Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini. Dalam hubungan inilah peranan ijtihad para cendekiawan Muslim sangat diharapkan untuk menggali konsepsi dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.
Secara kolektif, gagasan berdirinya Bank Islam di tingkat internasional, muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia, di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21 sampai dengan 27April 1969, yang diikuti oleh 19 negara peserta.
Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal yaitu:
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram.
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu Bank Islam yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin.
3. Sementara menunggu berdirinya Bank Islam, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat. (Fuad Moch. Fachrudin, 1961: 103)
Pembentukan Bank Islam semula memang banyak diragukan. Pertama, banyak orang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah sesuatu yang tak mungkin dan tak lazim. Kedua, adanya pertanyaan tentang bagaimana bank akan membiayai operasinya. Tetapi di lain pihak, Bank Islam adalah satu alternatif sistem ekonomi Islam. (Ensildopedi Islam, 1994; 233).
Sebenarnya pada tahun 1940-an telah muncul konsep teoretis tentang Bank Islam, namun belum bisa direalisasikan, karma selain kondisi pada waktu itu belum memungkinkan, juga belum adanya pemikiran tentang Bank Islam yang meyakinkan.
Latar Belakang Bank Syariah di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmaja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Aziz, dan lain-lain. Pada uji coba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yaitu Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Baca juga : Peraturan BPJS Ketenagakerjaan, Perlindungan Jamsostek dan Kasus Terkait BPJS
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut diatas. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 Miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturrahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industriperbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupaka “sisipan” belaka.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syaiah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama kepada aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) , kredit, pengawasan, akuntansi, riset, moneter.
a. Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara structural, BSM berasal dari kata Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri, yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pendampingan dan pelatihan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulankomparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan terakhir politik di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000.000,00 menjadi diatas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.
PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut diatas. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 Miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturrahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industriperbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupaka “sisipan” belaka.
Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syaiah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama kepada aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) , kredit, pengawasan, akuntansi, riset, moneter.
a. Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara structural, BSM berasal dari kata Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri, yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pendampingan dan pelatihan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulankomparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan terakhir politik di Aceh menjadi blessing in disguise bagi BSM. Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000.000,00 menjadi diatas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.
Baca juga : Fungsi, Tugas dan Wewenang BPJS Ketenagakerjaan
b. Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain satu perbankan syariah di Indonesia pasca reformai adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah.
Beberapa bank yang sudah membuka cabang syariah diantaranya :
b. Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain satu perbankan syariah di Indonesia pasca reformai adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah.
Beberapa bank yang sudah membuka cabang syariah diantaranya :
- Bank IFI
- Bank Niaga
- Bank BNI
- Bank BTN
- Bank Mega
- Bank Bukopin
- BPD Jabar
- BPD Aceh
Posting Komentar untuk "Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia, Bank Umum Syariah dan Cabang Syariah Konvensional"