Konsep dan Implementasi Akad-akad Muamalah Pada Asuransi Syariah
Konsep dan Implementasi Akad-akad Mu’amalah Pada Asuransi Syariah
Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zaqra, Muhammad Musa membolehkan asuransi dengan mengemukakan alasannya karena asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (Profit and loss sharing).
Baca juga : Pemerintah Menyoroti Infrastruktur Digital di Destinasi Wisata
Terjadinya akselerasi peningkatan pada asuransi syariah tidak terlepas dari kesadaran masyarakat khususnya umat Islam yang kian hari kian meningkat. Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh gharar, riba dan maysir berimplikasi pada kemudharatan yang dampaknya langsung dapat dirasakan oleh suatu pihak, meskipun pihak lainnya merasa diuntungkan.
Gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya, yaitu akad tabaduli atau akad pertukaran. Syarat akad tabaduli adalah harus jelas besar pembayaran premi yang harus dibayar oleh peserta dan besar uang pertanggungan yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menjadi tidak jelas karena kita tidak dapat menentukan jumlah premi yang akan dibayarkan secara tepat karena jumlah premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan dalam menghindari sifat gharar ini adalah dengan menggantikan akad tabaduli dengan akad takafuli atau akad tabarru’. Dengan konsep ini, sejak awal pembayaran premi akan dibagi dua dan masing-masing dimasukkan ke dalam rekening, yaitu rekening peserta (pemegang polis) dan rekening tabarru’. Pada rekening tabarru’ peserta telah mengetahui sejak awal bahwa rekening tersebut di niatkan sebagai dana kebajikan atau tolong menolong.
Untuk maysir terkandung dalam asuransi konvensional pada saat peserta mengundurkan diri dari kepesertaan, ia tidak akan menerima kembali yang telah dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja. Sehingga peserta mengalami kerugian, sedangkan perusahaan mengalami keuntungan. Pada asuransi syariah, hal ini tidak terjadi karena rekening peserta beserta hasil investasinya akan dikembalikan kepada peserta. Kecuali dana yang ada pada rekening tabarru’.
Gozali Sudirjo menjelaskan konsep yang ditawarkan asuransi syariah berbasis pada akad tijarah yang digunakan yaitu akad mudharabah, yang mana pihak perusahaan asuransi dalam hal ini takaful berposisi sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shohibul mal (pemegang polis). Manakala dilakukan klaim oleh pemegang polis maka konsep klaim itu adalah sebagai berikut:
Barangkali kita sering berpikir bahwa secara konsep dan istilah memang asuransi syariah berbeda dengan konvensional, namun secara substansi tidak ada bedanya antara asuransi syariah dan konvensional. Pandangan semacam ini, banyak menyebar di masyarakat jika logika yang dipakai seperti itu. Namun hakikatnya jelas berbeda antara asuransi syariah dan konvensional, perbedaan paling mendasar terletak pada akad yang dilakukan di awal.
Terjadinya akselerasi peningkatan pada asuransi syariah tidak terlepas dari kesadaran masyarakat khususnya umat Islam yang kian hari kian meningkat. Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh gharar, riba dan maysir berimplikasi pada kemudharatan yang dampaknya langsung dapat dirasakan oleh suatu pihak, meskipun pihak lainnya merasa diuntungkan.
Gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya, yaitu akad tabaduli atau akad pertukaran. Syarat akad tabaduli adalah harus jelas besar pembayaran premi yang harus dibayar oleh peserta dan besar uang pertanggungan yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menjadi tidak jelas karena kita tidak dapat menentukan jumlah premi yang akan dibayarkan secara tepat karena jumlah premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan dalam menghindari sifat gharar ini adalah dengan menggantikan akad tabaduli dengan akad takafuli atau akad tabarru’. Dengan konsep ini, sejak awal pembayaran premi akan dibagi dua dan masing-masing dimasukkan ke dalam rekening, yaitu rekening peserta (pemegang polis) dan rekening tabarru’. Pada rekening tabarru’ peserta telah mengetahui sejak awal bahwa rekening tersebut di niatkan sebagai dana kebajikan atau tolong menolong.
Untuk maysir terkandung dalam asuransi konvensional pada saat peserta mengundurkan diri dari kepesertaan, ia tidak akan menerima kembali yang telah dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja. Sehingga peserta mengalami kerugian, sedangkan perusahaan mengalami keuntungan. Pada asuransi syariah, hal ini tidak terjadi karena rekening peserta beserta hasil investasinya akan dikembalikan kepada peserta. Kecuali dana yang ada pada rekening tabarru’.
Gozali Sudirjo menjelaskan konsep yang ditawarkan asuransi syariah berbasis pada akad tijarah yang digunakan yaitu akad mudharabah, yang mana pihak perusahaan asuransi dalam hal ini takaful berposisi sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shohibul mal (pemegang polis). Manakala dilakukan klaim oleh pemegang polis maka konsep klaim itu adalah sebagai berikut:
- Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian;
- Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang dibayarkan;
- Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya;
- Kemudian klaim atas akad tabarru’ (sumbangan/derma) merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan sebatas yang disepakati dalam akad;
Dalam asuransi konvensional terjadi adanya gharar atau ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakjelasan landasan akad yang dibangun, apakah tijarah (akad jual beli) atau takaful (tolong menoling dalam pertanggungan) yang diterapkannya.
Kemudian bagaimana praktek yang diterapkan oleh asuransi syariah? Untuk menjawab ini, maka akan diambil contoh dari salah satu praktek yang dijalankan oleh asuransi syariah pertama di Indonesia yakni Asuransi Syariah Takaful. Secara umum akad di takaful ada 2, yaitu akad tijarah dan tabarru. Hal ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.21/dsn-mui/x/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah. Secara umum dapat dikatakan sebagai akad takafuli atau pertanggungan atas dasar tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru’. Misalnya, nasabah membayar asuransi untuk 10 ahun. Setiap tahunnya ia membayar Rp10.000.000,- kemudian pada tahun keempat nasabah tersebut meninggal dunia. Lantas pihak asuransi memberikan premi Rp.10.000.000,- padahal secara matematis nasabah tersebut baru membayar Rp4.000.000,-. Lantas darimanakah sisa Rp6.000.000,- yang diberikan oleh pihak perusahaan asuransi kepada nasabahnya itu? Tentunya dana yang 6 juta di atas bukanlah hal gharar, tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru’ (derma), dan hal itu sudah dijelaskan di awal kepada para nasabahnya.
Mendermakan harta atas dasar tolong menolong adalah bagian dari ibadah. Harta yang di dermakan itu pun tentunya menjadi bagian amal saleh yang tak luput dari perhitungan Allah, jika didasari dengan keikhlasan.
Penerapan konsep perjanjian atau akad dalam asuransi syariah merupakan jenis akad baru yang belum pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan ajaran Islam. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat oleh berbagai kelompok dari berbagai belahan dunia tentang hukum asuransi menurut syariat Islam. Terlepas dari kontroversi tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada prinsipnya menolak asuransi konvensional. Namun menyadari realita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari sebagai kebutuhan mendasar yang terdapat dalam tujuan Islam, yakni mencari keamanan atau al-ammu, serta kecukupan atau al-kifayah, maka di keluarkan pedoman umum akad untuk asuransi dengan fatwa berikut ini:
Prinsip Akad Syariah
Penggunaan akad yang syariah dalam asuransi adalah yang tidak mengandung gharar atau penipuan, maysir atau perjudian, riba atau bunga, zulmu atau penganiayaan, riswah atau suap, serta tidak mengandung barang haram atau maksiat.
Posting Komentar untuk "Konsep dan Implementasi Akad-akad Muamalah Pada Asuransi Syariah"