Konsep Dasar Ekonomi Islam dan Makro Ekonomi Islam, Definisi, Perbedaan dengan Konvensional dan Riba
Konsep dasar Ekonomi Islam dan Makro ekonomi Islam
1. Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi adalah suatu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan secara makro. Ekonomi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemanfaatan uang, tenaga, waktu dan lain-lain yang berharga. Syariah adalah interpretasi atas doktrin, nilai, norma dan hukum islam.
Baca juga : Hukum Memperjualbelikan Barang Sumbangan atau Wakaf, Bolehkah?
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Syariah adalah pemanfaatan uang, tenaga, waktu dan lain-lain yang berharga yang dapat mempengaruhi kehidupan secara makro dengan berdasarkan pada doktrin, nilai, norma dan hukum islam.
Ekonomi Islam dapat diibaratkan dengan sebuah rumah yang terdiri atas atap, tiang, dan fondasi. Begitu juga dengan ekonomi Islam.
Kelima nilai dasar ini menjadi dasar inspirasi untuk untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi.
Bertiangkan 3 hal:
1. Kepemilikan Multi jenis (Multitype ownership )
Nilai tauhid dan keadilan melahirkan konsep Multitype ownership atau kepemilikan multijenis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta atau pemodal, sedang dalam sistem ekonomi sosialis yang berlaku adalah kepemilikan negara. Dalam sistem ekonomi Islam, mengakui bermacam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara, atau campuran.
3. Keadilan Sosial (Social justice)
Prinsip Social Justice lahir dari gabungan nilai khalifah dan nilai ma’ad. Semua sistem ekonomi yang ada pasti memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan sistem perekonomian yang adil. Keadilan dalam pendistribuasian kekayaan adalah bagian dari prinsip ekonomi Islam. Islam melarang umatnya untuk menumpuk kekayaan pada satu kelompok, namun kekayaan haruslah didistrbusikan secara merata. Kewajiban Zakat, Infak, dan shadaqah bagi golongan yang mampu adalah bentuk pendistribusian kekayaan dalam ekonomi Islam
a. Riba
Riba adalah pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dan aturan syariat islam. Beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur tersebut bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Ada dua bentuk riba yang dikembangkan sejak permulaan islam
a) Riba nasi’ah yang berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi. Jadi, riba yang berbentuk ini mengacu pada bunga pada utang. Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah presentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayardidepan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman.
b) Riba fadhl yang bentuk kedua dari riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dan penjual, yang diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang bayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama.
b. Gharar
Gharar adalah “ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah adalah “ ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Syariah adalah pemanfaatan uang, tenaga, waktu dan lain-lain yang berharga yang dapat mempengaruhi kehidupan secara makro dengan berdasarkan pada doktrin, nilai, norma dan hukum islam.
Ekonomi Islam dapat diibaratkan dengan sebuah rumah yang terdiri atas atap, tiang, dan fondasi. Begitu juga dengan ekonomi Islam.
Bangunan dalam ekonomi Islam berfondasikan 5 hal:
- Tauhid (keimanan) Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia secara menyeluruh akan menyerahkan segala aktifitasnya kepada Allah. Oleh karena itu, segala aktifitas akan selalu dibingkai dalam kerangka hubungan kepada Allah.
- ‘Adl (Keadilan). Dalam Islam, adil didefinisikan sebagai tindakan tidak menzhalimi dan dizhalimi. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejarkan keuntungan pribadi, namun merugikan orang lain atau merusak alam.
- Nubuwwah (Kenabian). Salah satu fungsi dari Rasul adalah untuk menjadi model terbaik bagi manusia yang harus diteladani untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Nabi Muhammad adalah model terbaik yang utus Allah untuk dijadikan tauladan oleh seluruh manusia. Keteladanan Nabi Muhammad mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk teladan dalam bertransaksi ekonomi dan bisnis. Empat sifat utama Nabi yang dapat dijadikan teladan adalah siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh.
- Khalifah (Pemerintahan). Dalam Al Quran, Allah menyebutkan bahwa manusia diciptakan adalah untuk menjadi khalifah dibumi. Peran khalifah adalah untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi.
- Ma’ad (Hasil). Implikasi nilai ini adalah dalam perekonomian dan bisnis bahwa motivasi para pelaku bisnis adalh untuk mendapatkan hasil di dunia (laba/profit) dan hasil di akhirat (pahala).
Kelima nilai dasar ini menjadi dasar inspirasi untuk untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi.
Bertiangkan 3 hal:
1. Kepemilikan Multi jenis (Multitype ownership )
Nilai tauhid dan keadilan melahirkan konsep Multitype ownership atau kepemilikan multijenis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta atau pemodal, sedang dalam sistem ekonomi sosialis yang berlaku adalah kepemilikan negara. Dalam sistem ekonomi Islam, mengakui bermacam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara, atau campuran.
2. Kebebasan bertindak ekonomi (Freedom to act)
Keempat sifat utama Nabi jika digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khalifah akan melahirkan prinsip freedom to act atau kebebasan bertindak dan berusaha bagi setiap muslim. Islam memberikan kebebasan kepada setiap muslim dalam hal Muamalah, namun kebebasan tersebut memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
Keempat sifat utama Nabi jika digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khalifah akan melahirkan prinsip freedom to act atau kebebasan bertindak dan berusaha bagi setiap muslim. Islam memberikan kebebasan kepada setiap muslim dalam hal Muamalah, namun kebebasan tersebut memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
3. Keadilan Sosial (Social justice)
Prinsip Social Justice lahir dari gabungan nilai khalifah dan nilai ma’ad. Semua sistem ekonomi yang ada pasti memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan sistem perekonomian yang adil. Keadilan dalam pendistribuasian kekayaan adalah bagian dari prinsip ekonomi Islam. Islam melarang umatnya untuk menumpuk kekayaan pada satu kelompok, namun kekayaan haruslah didistrbusikan secara merata. Kewajiban Zakat, Infak, dan shadaqah bagi golongan yang mampu adalah bentuk pendistribusian kekayaan dalam ekonomi Islam
Baca juga : Hukum Menerima Gaji sebagai Muadzin atau Imam Masjid, Bolehkah?
Di atas semua nilai dan prinsip tersebut, dibangunlah konsep yang memayungi semuanya, yaitu konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi. Akhlaq inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
Berikut adalah perbedaan antara ekonomi Islam dan Konvensional :
Di atas semua nilai dan prinsip tersebut, dibangunlah konsep yang memayungi semuanya, yaitu konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi. Akhlaq inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
2. Perbedaan dasar Ekonomi Islam dan Konvensional
Berikut adalah perbedaan antara ekonomi Islam dan Konvensional :
3. Konsep Riba dan Gharar
a. Riba
Riba adalah pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dan aturan syariat islam. Beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur tersebut bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya
. َاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Ada dua bentuk riba yang dikembangkan sejak permulaan islam
a) Riba nasi’ah yang berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi. Jadi, riba yang berbentuk ini mengacu pada bunga pada utang. Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah presentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayardidepan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman.
b) Riba fadhl yang bentuk kedua dari riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dan penjual, yang diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang bayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama.
b. Gharar
Gharar adalah “ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah adalah “ ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”.
Baca juga : Hukum Menerima Uang Lembur Tanpa Bekerja, Bolehkah?
Gharar secara sederhana dapat dikatakan suatu keadaan yang salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidjelasan atau keraguan tentang adanya komoditas yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi, pertaruhan, atau perjudian.
“Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi mereka berada dalam satu majelis dan belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling terbuka maka niscaya akad mereka diberkahi. Dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi cacat (barang) maka niscaya dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan.” [HR al-Bukhari dan Muslim]
Gharar secara sederhana dapat dikatakan suatu keadaan yang salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidjelasan atau keraguan tentang adanya komoditas yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi, pertaruhan, atau perjudian.
لبَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مَحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi mereka berada dalam satu majelis dan belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling terbuka maka niscaya akad mereka diberkahi. Dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi cacat (barang) maka niscaya dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan.” [HR al-Bukhari dan Muslim]
Posting Komentar untuk "Konsep Dasar Ekonomi Islam dan Makro Ekonomi Islam, Definisi, Perbedaan dengan Konvensional dan Riba"