Prinsip Operasional Reksa Dana Syariah Menurut Hukum Islam
Prinsip Operasional Reksa Dana Syari’ah Menurut Hukum Islam Mekanisme operasional antara pemodal dengan Manajer Investasi reksa dana syari’ah menggunakan sistem wakalah. Pada akad wakalah tersebut, pemodal memberikan mandat kepada manajer investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan pemodal sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam prospektus. Investasi hanya dilakukan pada instrumen yang sesuai dengan syari’at Islam. Dan prinsip operasional yang digunakan reksa dana syari’ah adalah prinsip mudharabah atau qiradh.
Baca juga : 6 Solusi Pemasaran Terbaik di Era Globalisasi Teknologi dan Internet
Pengertian mudharabah atau qiradh dari segi etimologi,[1] adalah suatu perumpamaan (ibarat) seseorang yang memberikan (menyerahkan) harta benda (modal) kepada orang lain agar di gunakan perdagangan yang menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika rugi, maka kerugian di tanggung pemilik modal.[2]
Kebolehan akad mudharabah atau qiradh menurut para ulama adalah QS. Al-Muzammil ayat 20 dan Al-Jumu’ah ayat 10 yaitu sebagai berikut :
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah ….(Q.S Al-Jumuah : 10).
Berdasarkan ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah atau qiradh, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Dimana yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari penjelasan surat (Q.S. Muzammil: 20) adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Kata Yadhribuna Fiil Ard dalam tafsir Al-Maragi yang menafsirkan kata yadhribuna mereka bepergian untuk berdagang atau sama dengan perjalanan usaha.[1] Selain itu Mudharib adalah sebagai orang yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia Allah SWT dan keuntungan investasinya ditempat lain.
Selain ayat Al-Qur’an sebagai dasar kebolehan kerjasama mudharabah, dalam Sunnah Rasul dapat ditemukan beberapa dasar kebolehan kerjasama tersebut, diantaranya:
Artinya : Diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, jika memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Thabrani).
Pengertian mudharabah atau qiradh dari segi etimologi,[1] adalah suatu perumpamaan (ibarat) seseorang yang memberikan (menyerahkan) harta benda (modal) kepada orang lain agar di gunakan perdagangan yang menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika rugi, maka kerugian di tanggung pemilik modal.[2]
Kebolehan akad mudharabah atau qiradh menurut para ulama adalah QS. Al-Muzammil ayat 20 dan Al-Jumu’ah ayat 10 yaitu sebagai berikut :
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah ….(Q.S Al-Jumuah : 10).
Berdasarkan ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah atau qiradh, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Dimana yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari penjelasan surat (Q.S. Muzammil: 20) adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Kata Yadhribuna Fiil Ard dalam tafsir Al-Maragi yang menafsirkan kata yadhribuna mereka bepergian untuk berdagang atau sama dengan perjalanan usaha.[1] Selain itu Mudharib adalah sebagai orang yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia Allah SWT dan keuntungan investasinya ditempat lain.
Selain ayat Al-Qur’an sebagai dasar kebolehan kerjasama mudharabah, dalam Sunnah Rasul dapat ditemukan beberapa dasar kebolehan kerjasama tersebut, diantaranya:
رَوَى ا بْنُ عَبَّاسِ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا أنَّهُ قَالَ: كَا نَ سَيِّدُ نَا الْعَبَا سُ بْنُ عَبْدِ الْمُكَلِّبِ إذَ دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أنْ لاَ يَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا وَلاَ يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا وَلاَ يَسْتَرِى بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبَدِ رَطْبَةٍ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمَنَ فَبَلَغَ صُرْطَهُ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ فَأجَازَهُ[2].
Artinya : Diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, jika memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Thabrani).
Baca juga : Apa itu Finansial Teknologi (FinTech), Kendala dan Fenomena Inovasi Disruptif?
Prinsip mudharabah atau qiradh ini diartikan sebagai sebuah ikatan atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain utnuk dikelola dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaan tersebut dibagi antara kedua pihak sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Prinsip mudharabah atau qiradh di reksa dana syari’ah ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, pemodal sebagai rab al-mal ikut menanggung resiko kerugian yang dialami manajer investasi sebagai ‘amil. Kedua, manajer investasi sebagai ‘amil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi kelau kerugian tersebut bukan disebabkan karena kelalaiannya. Ketiga, keuntungan dibagi antara pemodal dengan manajer investasi sesuai dengan proporsi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.[3]
Sesuai dengan prinsip operasional tersebut, maka pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh manajemen investasi sebagai pengelola reksa dana menggunakan prinsip mudharabah atau qiradh dengan transaksi yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Transaksi yang dilarang oleh syari’at Islam diantaranya transaksi yang di dalamnya mengandung unsur gharar (resiko yang tidak wajar) dan najsy (penawaran palsu).
Prinsip mudharabah atau qiradh ini diartikan sebagai sebuah ikatan atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain utnuk dikelola dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaan tersebut dibagi antara kedua pihak sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Prinsip mudharabah atau qiradh di reksa dana syari’ah ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, pemodal sebagai rab al-mal ikut menanggung resiko kerugian yang dialami manajer investasi sebagai ‘amil. Kedua, manajer investasi sebagai ‘amil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi kelau kerugian tersebut bukan disebabkan karena kelalaiannya. Ketiga, keuntungan dibagi antara pemodal dengan manajer investasi sesuai dengan proporsi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.[3]
Sesuai dengan prinsip operasional tersebut, maka pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh manajemen investasi sebagai pengelola reksa dana menggunakan prinsip mudharabah atau qiradh dengan transaksi yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Transaksi yang dilarang oleh syari’at Islam diantaranya transaksi yang di dalamnya mengandung unsur gharar (resiko yang tidak wajar) dan najsy (penawaran palsu).
Untuk menjamin reksa dana syari’ah beroperasi tanpa menyalahi aturan seperti yang diatur dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN), suatu reksa dana syari’ah wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Fungsi utama DPS adalah sebagai penasehat pengelola investasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syari’ah dan sebagai mediator antara reksa dana dengan Dewan Syari’ah Nasional (DSN).[4]
Berdasarkan prinsip operasional tersebut di atas, secara operasional terdapat perbedaan mendasar antara reksa dana syari’ah dan reksa dana secara umum (konvensional), yaitu dalam reksa dana syari’ah ada proses screening dan cleansing,[5] sedangkan pada reksa dana konvensional tanpa proses screening dan tidak ada proses cleansing (filtersasi dari kegiatan haram) dalam mengkonstruksi portofolio.
Baca juga : Kisah Inspiratif dari Atep Taryadi, dari Petani Biasa Menjadi Pengusaha Karpet
----------------------------------------------------------------------------------
[1] Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah adalah bahasa penduduk Irak yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh. Namun pengertian qiradh dan mudharabah adalah satu makna. Lihat Imam Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Alih bahasa Syarifuddin, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, tt.), hlm. 301.
[1] Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al- Maraghi, Cet. 1. Juz 29, (CV. Toha Putra, Semarang, 1993), hlm. 204.
[2] Ibnu Hajar Asqalani, Buluqhul Maram, (Terj). M. Syaref Sujandi, (Al-Ma’arif, Bandung, 1983), hlm. 297.
[3] H.A Djazuli dan Yadi Janwari, Op. Cit., hlm. 208
[4] Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 165.
[5] Proses Screening adalah proses penempatan dana masyarakat di dalam portofolio haruslah dikategorikan halal (sesuai prinsip-prinsip Islam), langkah ini merupakan filterisasi pertama dalam pembentukan portofolio yang memenuhi semua prinsip Islam. Proses Cleansing yaitu membebaskan semua sarana investasi dari unsur-unsur yang diharamkan. Baca dalam Mangasa Simatupang, Op. Cit., hlm. 210.
[1] Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah adalah bahasa penduduk Irak yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh. Namun pengertian qiradh dan mudharabah adalah satu makna. Lihat Imam Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Alih bahasa Syarifuddin, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, tt.), hlm. 301.
[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al Madzahibu Al Arba’ah, Juz III, (Al Maktabah Al ‘Asriyah, Beirut, 1986), hlm. 43.
-----------------------------------------------------------------------------------
[1] Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al- Maraghi, Cet. 1. Juz 29, (CV. Toha Putra, Semarang, 1993), hlm. 204.
[2] Ibnu Hajar Asqalani, Buluqhul Maram, (Terj). M. Syaref Sujandi, (Al-Ma’arif, Bandung, 1983), hlm. 297.
[3] H.A Djazuli dan Yadi Janwari, Op. Cit., hlm. 208
[4] Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 165.
[5] Proses Screening adalah proses penempatan dana masyarakat di dalam portofolio haruslah dikategorikan halal (sesuai prinsip-prinsip Islam), langkah ini merupakan filterisasi pertama dalam pembentukan portofolio yang memenuhi semua prinsip Islam. Proses Cleansing yaitu membebaskan semua sarana investasi dari unsur-unsur yang diharamkan. Baca dalam Mangasa Simatupang, Op. Cit., hlm. 210.
Posting Komentar untuk "Prinsip Operasional Reksa Dana Syariah Menurut Hukum Islam"